Mohon tunggu...
Bang Aswi
Bang Aswi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger Bandung | Kompasianer Bandung

Seorang penggila olahraga, tukang ulin, dan desainer yang menggemari dunia kepenulisan. Aktif sebagai pengurus #BloggerBDG dan konsultan marketing digital | Kontak: bangaswi@yahoo.com | T/IG: @bangaswi ... ^_^

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tulisan Ridwan Kamil: Mensyukuri Kegelisahan

20 Januari 2015   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dengan melihat dunia, justru saya belajar lebih mencintai Indonesia [31/7/2010]. Tiap melihat negeri sendiri selalu timbul kegelisahan, negeri ini seharusnya bisa jauh lebih baik [1/5/2014]." ~ @ridwankamil


Bagi saya, hidup di negeri ini adalah hidup dengan 'kegelisahan' tingkat tinggi. Dulu saya berasumsi, setiap detik, menit, dan jam kehidupan yang bergerak ke arah masa depan senantiasa beriringan dengan kemajuan dan kegembiraan. Namun, kenyataan yang saya dapatkan justru malah penggalan-penggalan kemunduran dan kesemrawutan. Keseluruhannya hadir membombardir nalar dan mata secara nyata.

Saya pernah menggambarkan wajah negeri kita dalam salah satu tweet saya tertanggal 17 Agustus 2014. "Indonesia itu surga indah...." Tweet itu hanyalah satu potongan dari keseluruhannya. Potongan penyempurnanya adalah, "... namun sarat masalah."

Mengapa saya menyampaikan tweet seperti itu? Lihatlah wajah Indonesia kita hari ini. Berita tentang korupsi--yang setiap hari datang silih berganti--adalah wajah buruk dari mundurnya peradaban negeri ini. Negeri kita dimiskinkan oleh mereka-mereka yang mencuri. Mereka seakan tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya telah mencuri masa depan anak cucu mereka sendiri. Hidup tanpa visi mengakibatkan lingkungan pun perlahan hancur atas nama lokomotif ekonomi.

Negeri kita memang sedang sakit. Ciri negeri sakit adalah pemerintahnya korup, pebisnisnya oportunis, dan kaum intelektualnya apatis. Kita tengah terjebak di sana.

Negeri kita hari ini adalah negeri yang padat dan ramai, tetapi juga mencemaskan. Kita semua berlari berebutan di atas kapasitas infrastruktur yang nyaris sama seperti beberapa puluh tahun ke belakang. Setiap hadirnya pembangunan baru hampir selalu mendesak badan ke arah kesakitan. Setiap musim hujan kita dicemaskan oleh sergapan banjir yang melanda pemukiman kita. Setiap musim kemarau kita dicemaskan dengan kekeringan beserta aneka masalah yang ditimbulkannya. Ada kelelahan demi kelelahan hadir di sudut sanubari kita. Sampai kapan?

Negeri kita hari ini adalah negeri yang sakit dan sesak. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah kesemrawutan dan pelanggaran aturan. Pelanggaran menjadi hal yang lumrah. Jual beli jabatan tampak sudah biasa karena semua berjamaah melakukannya. Tanpa kendali, negeri ini akan rusak. Negeri yang stres akan melahirkan gederasi yang stres.

Akan ada deretan panjang wajah serupa mengenai Indonesia jika saya memaparkan keseluruhannya dalam tulisan-tulisan seperti ini. Saya juga tidak mau mengompetisikan keseharian aktivitas saya dengan menulis segala hal mengenai wajah buruk Indonesia. Cukuplah saya mencatat wajah-wajah demikian dalam catatan-catatan singkat. Sekadar untuk diingat saja dan sesekali untuk dibaca kembali. Syukurnya, saya punya rumah 'kedua' yang dapat memfasilitasinya. Ya, media sosial. Sejak saya bersentuhan dengan media sosial, kegelisahan-kegelisahan serupa saya curahkan di sana.

"Otw ke airport. Udah 1 jam dari sudirman baru nyampe slipi. Ooh Jakarta.." [12/11/2009]
"Akhirnya. Lepas macet juga. Leganya kayak abis pipis." [12/11/2009]
"Mencoba melupakan kesemrawutan Indonesia dgn mengajar pagi ini di itb, siang di unpad. Sore koordinasi rumah/sekolah korban gempa." [23/11/2009]
"Ketika TV kita diperbudak rating, etika sering ditinggalkan. Memori kita pun habis oleh acara2 TV yg gak mutu. Itulah knp kita gak maju2." [12/12/2009]
"Kompas hari ini hal 14. Tulisan dan kegelisahanku. Baca ya." [20/12/2009]

14217288611194107578
14217288611194107578

Mengapa hidup saya teramat gelisah sedemikian? Kemudian, hilangkah kegelisahan saya dengan mencatatkan wajah-wajah keburukan Indonesia? Saya bersyukur dapat merasakan kegelisahan. Mengapa? Begini ilustrasinya. Kita semua tentu pernah menonton tayangan quiz di televisi, bukan? Bunyi apa yang bersuara ketika peserta quiz menjawab pertanyaan dengan jawaban yang salah? Tetooottt...!!! Ya, bunyi itu yang bahkan sering pula kita tirukan membunyikannya. Apa maknanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun