Mungkin ini menjadi petualangan Kakak Bin dan Adik Anin yang tak terlupakan. Meski bukan kemping yang sebenarnya, paling tidak mereka sudah mempersiapkan diri untuk menginap semalam di daerah asing untuk kemudian berjalan kaki setelah shalat Subuh menuju tempat yang benar-benar baru. Bahkan, sudah jauh-jauh hari mereka merencanakan hal ini. "Jangan lupa bawa tenda ya, Bi," ujar Adik Anin bergairah. Sosok itu sendiri hanya mengiyakan sambil berpikir apakah mungkin membawa tenda dengan dua anak di atas satu motor? Mungkin bisa. Tapi lihat saja nanti bergantung jumlah blogger #KBandung yang akan hadir.
Waktu maghrib sudah lama lewat, begitu pula dengan adzan Isya. Dan akhirnya, baru pada pukul 9 malam mereka bertiga bisa meninggalkan rumah. Mengenakan jaket tebal karena akan menuju kawasan yang udaranya sudah pasti jauh lebih dingin. Karena saat itu malam minggu (6/6/2015) maka sosok itu lebih memilih jalan pintas melewati Cikutra untuk selanjutnya menyisir sisi lapangan golf Dago Resort, Cigadung. Jalanan telah sepi, sosok itu harus menenangkan kedua putrinya bahwa perjalanan malam itu menyenangkan meski menegangkan. Apalagi saat mulai menanjak di Ciburial. Sepi. Gelap. Dingin. Petualangan yang mengasyikkan. Semoga.
Pernah Juara 3 tingkat Kabupaten Tasikmalaya waktu dirinya masih duduk di kelas 6 SD. Bayangkan? Itu pun penjuriannya terbilang kontroversial karena ia sebenarnya lebih berhak menjadi Juara 1. Hanya karena gaya tulisannya tidak mencerminkan ditulis oleh siswa kelas 6 SD sehingga dianggap dituliskan oleh orang lain. Temanya pun keren dan termasuk baru, bercerita tentang peluncuran Satelit Palapa. Tetapi hal itu tidak membuatnya berhenti menulis. Di bangku SMP, ia meningkatkan kualitas tulisannya dan berhasil menembus Majalah Femina dengan honor Rp15K, padahal saat itu harga emas masih pada angka Rp2,5K per gram. Artinya dengan honor tersebut, ia bisa membeli emas 6 gram. Selanjutnya, tulisannya makin menyebar hingga ke Majalah Hai, Gadis, dll. Sejak saat itulah, ia betul-betul yakin bahwa menulis adalah jalan hidupnya.
Yup, tulisan ini memang tidak lagi bercerita tentang Tebing Karaton karena sosok itu sudah pernah menuliskannya di Langkah Panjang ke Tebing Karaton. Tiga paragraf di awal hanya sebagai prolog saja, sebagai pelengkap. Biar seru, gitu. Sesuai dengan judulnya, maka tulisan ini akan berisi tentang Tips Menulis Berita Ala Pepih Nugraha. Siapa Pepih? Kalau berbicara tentang Kompasiana maka nama itu tidak bisa dipisahkan karena ialah pendirinya. Wartawan senior Kompas itu sudah tidak diragukan lagi kemampuannya dalam menulis, begitu juga dalam mengelola komunitas. Masa kecilnya saja sudah begitu hebat, dan kini kiprahnya lebih banyak difokuskan pada pembinaan agar lebih banyak lagi masyarakat yang mau menulis dan menyebarkannya. Salah satunya adalah melalui Kompasiana.
"Untuk menulis yang bersifat spiritual, asah dulu jiwa kita. Kosongkan hati dari sifat iri dan dengki, baru diisi dengan semua kebaikan," ujar Kang Pepih sambil tersenyum. Sederhana. Itulah yang disampaikan saat menjelaskan bagaimana kalau seseorang ingin fokus menulis tentang tema spiritual. Sosok itu masih ingat benar bagaimana pertemuan pertama kalinya dengan Kang Pepih. Saat itu bersamaan dengan promo novel 'Negeri 5 Menara' di Bandung, Maret 2013, ia mengatakan bahwa menulis itu harus dari suara hati. Suara hatilah yang berperan utama dalam proses kreatif menulis, termasuk menulis fiksi seperti cerita pendek (cerpen) atau novel. Kang Pepih memang begitu menyukai fiksi.
Menulis berita atau artikel pada dasarnya bisa diambil dari 5 (lima) jenis tulisan tapi sosok itu lebih suka dengan penyebutan sudut pandang, yaitu faktual, praktikal, intelektual, emosional, dan spiritual. Satu peristiwa bisa diceritakan dari limat sudut pandang yang berbeda. Semuanya saling menguatkan. Saling berkaitan. Faktual => Praktikal => Intelektual => Emosional => Spiritual => Faktual => Praktikal => Intelektual => Emosional ... dan seterusnya. Selalu berputar. Unsur dasar jurnalistik memang tidak boleh diabaikan, yaitu Rumus Klasik 5W1H (standar). Akan tetapi Kang Pepih menambahkan, "So What Gitu Loh?" Setelah itu apa lagi? Di sinilah perlunya pendekatan setelah peristiwa terjadi. Konsepnya adalah "The News That We Can Use", bahwa pada saat menulis, fokuskan bahwa tulisan itu bermanfaat untuk orang lain. Itulah mengapa ia melahirkan Kompasiana. Agar setiap tulisan bisa di-share. Bisa dibagi. Supaya lebih bermanfaat.[]
NB: Hatur nuhun ya, Kang Pepih atas hadiah buku "Ibu Pertiwi Memanggilmu Pulang". Ini jelas buku keren, apalagi sosok itu suka dengan tulisan 'Mas, Islam Itu Indah, Ya!' ... ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H