Pengguna adalah korban
Mereka adalah orang sakit
Mereka harus disembuhkan
Berbicara tentang narkoba memang serba salah. Di satu sisi mayoritas masyarakat sudah mengetahui bahwa narkoba itu salah dan berbahaya, tetapi di sisi lain jika ada anggota keluarganya yang terjerat narkoba mereka tidak mau atau tidak berani melaporkannya. Alasannya cuma satu, yaitu takut. Takut kalau anggota keluarganya yang terjebak narkoba itu dipenjara. Ya, masyarakat pada umumnya takut kalau harus melaporkan anggota keluarganya bahwa dia sudah terperangkap di dalam jejaring narkoba. Padahal, bisa jadi dia adalah pengguna, bukan pengedar.
Melapornya ke mana? Tentu saja ke Institusi Penerima Wajib Lapor atau IPWL. IPWL merupakan sistem kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Intitusi atau lembaga ini merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khususnya pasal 55. IPWL adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Di sinilah yang harus dijelaskan pada masyarakat, bahwa pengguna itu sangat berbeda dengan pengedar. Pengguna belum tentu dipenjarakan atau dipidanakan, bahkan justru harus mendapatkan perawatan. Pengguna adalah korban atau orang sakit sehingga harus disembuhkan, bukan dipenjara. Perawatan terhadap pengguna narkoba ini dikenal dengan istilah rehabilitasi. Kalau dijelaskan dengan bahasa formal, rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009).
Rehabilitasi ini sifatnya terbagi dua, yaitu bersifat sukarela dan bersifat wajib. Sukarela kalau pengguna yang dimaksud secara sukarela melapor dan juga sukarela menjalani rehabilitasinya. Sedangkan wajib karena berdasarkan putusan pengadilan. Wajib Lapor sendiri diartikan sebagai kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada IPWL untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Lingkungan rehabilitasi pengguna narkoba sangat berbeda dengan lingkungan penjara. Seseorang yang masuk ke dalam rehabilitasi akan menjalani proses pengobatan atau pemulihan dan diawasi dengan ketat sehingga ketergantungan terhadap narkoba sedikit demi sedikit akan hilang. Di sana tidak ada seks bebas dan kekerasan. Sangat berbeda dengan lingkungan penjara yang memungkinkan terjadinya seks bebas dan kekerasan. Mungkin, sekali lagi mungkin, bagi yang sering terbiasa melakukan dua hal di atas dipastikan akan tersiksa jika ditempatkan di pusat rehabilitasi.
Lalu bagaimana mengetahui seseorang itu pecandu narkoba? Sangat mudah sebenarnya dan ini bisa dikenali dengan mata telanjang. Gejala awalnya adalah kepala pusing, badan gemetar, mudah marah, dan sulit tidur. Sedangkan dampaknya dari mengkonsumsi narkoba adalah menyebabkan kerusakan permanen pada otak, pendarahan hidung, kehilangan ingatan, kehilangan kendali tubuh, kram, nyeri, dan batuk parah. Tetapi dari itu semua, tentu akan lebih baik jika melakukan pendekatan terlebih dahulu pada seseorang yang diperkirakan terkena jeratan narkoba, apalagi kalau dia adalah anggota keluarga sendiri.
Berbeda dengan pengguna, pengedar jelas akan dipidana alias dipenjara. Yang memutuskan seseorang itu pengedar atau pengguna tentu saja pengadilan, yaitu berdasarkan jumlah narkoba yang menyertainya. Kurir atau orang yang bertugas mengantarkan narkoba dari satu daerah ke daerah lain (bisa juga negara) disebut juga pengedar. Sudah banyak kurir yang tertangkap tangan. Dari data KEMLU 2012, ada 203 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri karena tertangkap tangan sebagai kurir dimana hampir 100 persennya adalah wanita. Mereka bisa jadi pemain utama tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjebak.
Kurir wanita yang tertangkap tangan melakukan banyak cara untuk menyelundupkan narkoba. Cara yang biasa dilakukan misalnya dengan memasukkannya ke dalam benda yang dibawanya seperti kursi mebel, kaki palsu, batu atau kerajinan tangan, lukisan, dan lain-lain. Cara ekstremnya adalah ditempelkan ke bagian tubuhnya atau bahkan dimasukkan ke dalam tubuh (dibungkus plastik) melalui oral, anus, atau bahkan ‘maaf’ lubang vagina. Mereka berani melakukan hal itu karena diiming-imingi bayaran yang tinggi meski taruhannya adalah penjara atau kematian. Pernah ada kasus seorang kurir wanita asal Afrika yang tewas saat salah satu narkoba pecah di dalam tubuhnya.
Mereka tergiur oleh keuntungan yang fantastis. Lihat saja bagaimana nilai shabu yang dipasarkan di Indonesia diperkirakan sudah mencapai sekira Rp9-10 triliun per tahun dan pasar ekstasi mencapai sekira Rp2.2 triliun. Keuntungan dari bisnis narkoba di seluruh dunia adalah mencapai US $322 billion per tahun yang digunakan untuk membiayai organisasi kejahatan lainnya. Data sebaliknya ditunjukkan bahwa pada tahun 2011 kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba sudah mencapai Rp48.2 triliun.