Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa | Jika hendak mengenal orang yang berbahagia, sangat memeliharakan yang sia-sia | Jika hendak mengenal orang mulia, lihat kepada kelakuan dia | Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu ~ Gurindam Fasal yang Kelima karya Raja Ali Haji
Ada perasaan tidak percaya saat ditelepon oleh pihak Kompasiana, dan itu terjadi pada waktu yang benar-benar mepet. Bahagia saat mendengarnya, tapi juga bingung harus mencari dana dari mana. Ya, kemenangan ini meski hanya sebagai pemain bangku cadangan, tetap saja harus menyiapkan budget yang tidak sedikit. Tiket pesawat Jakarta - Tanjung Pinang harus sudah di tangan, dan itu adalah jumlah yang amat besar bagi sosok itu. Seumur-umur ia melakukan #BlogTrip atau perjalanan, cenderung gratis. Kalaupun harus mengeluarkan dana sendiri, paling hanya sekadar ongkos naik ojek atau bus antarkota. Itu saja. Jadi, otaknya pun harus diajak cepat berpikir. Pihak Kompasiana hanya menyediakan waktu beberapa jam untuk memutuskan jadi ikut atau tidak. Asli, bingung!
Hingga akhirnya seorang sahabat baik yang baru dikenalnya selama 10 hari, keluarga baru yang tinggal di Jepang bersedia menanggung semua biaya perjalanan pulang pergi dari Bandung, Jakarta, dan
Pulau Bintan. Alhamdulillah. Semua seperti mata rantai keajaiban yang tidak pernah putus. Tidak ada yang tidak mungkin. Kekuatan hati berupa keyakinan dari awal hingga memberanikan diri untuk menulis
Memperbaiki Eco-Resort Pulau Samalona membuahkan hasil. Apalagi Bintan adalah nama yang memang begitu melekat di keluarga kecilnya. Putri pertamanya bernama Bintan, sebuah nama yang diberikan oleh almarhum Bapak mertua. Nama yang diberikannya sebagai pengingat bahwa beliau pernah bertahun-tahun berjuang keras di Tanjung Pinang meski hanya sebagai pedagan asongan. Ada keinginan kuat saat itu, bahwa ia harus pergi ke Pulau Bintan untuk menelusuri jejak-jejak perjuangannya. Dan kini, semua itu tercapai.
Pukul 02.00 dini hari pada hari Sabtu, 31 Oktober 2015, sosok itu sudah berada di lama bus Primajasa. Bus antarkota yang akan mengantarkannya dari Batununggal menuju Bandara Soekarno Hatta. Waktu menunggu selama 3 (tiga) jam di Batununggal tidak begitu terasa dengan obrolan ngalor-ngidul di grup WA #BloggerBDG. Ya, ia berangkat dari rumah sejak pukul 22.00 hari sebelumnya karena sang belahan jiwa yang khawatir kalau harus mengantarkan tengah malam. Sampai di bandara sudah pukul 04.30, dan tempat yang langsung dituju adalah mushala guna menunaikan shalat Subuh. Setelah itu, masih ada satu atau dua jam untuk bertemu kawan seperjalanan yang sama-sama menaiki Pesawat Lion Air. Mereka adalah Syaifuddin Sayuti dan Opi Novianto. Rencananya mereka akan take off tepat pada pukul 08.25. Perjalanan panjang ke barat. Dunia entah yang belum pernah dikunjunginya. Rasa was-was dan bahagia bercampur aduk.
Satu setengah jam kemudian, mereka bertiga sampai di Bandara Raja Haji Fisabilillah. Bandara yang berukuran kecil, tapi unik. Gedung lama sudah tidak terpakai lagi sehingga harus menaiki bus penjemputan untuk mencapai gedung baru. Tadinya dipikir jaraknya amat jauh, ternyata begitu dekat. "Tahu begitu jalan kaki saja sambil memotret beberapa pesawat trikke yang terparkir tak jauh dari situ," bisiknya tersenyum. Di bandara, harus menunggu dua jam lagi karena panitia direncanakan akan tiba pada pukul 12 karena menggunaka pesawat Garuda. Oke. Mereka pun sepakat untuk menunggu di mushala bandara, sambil mengakrabkan diri. Paling tidak, mencoba mempraktikkan apa yang diucapkan Raja Ali Haji pada salah satu bait gurindamnya, "Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu." Kata cerdas dan bernas yang kelak akan ditemuinya di Pulau Penyengat.
Selepas shalat jamak-qashar berjamaah, mereka bertiga akhirnya bertemu dengan rombongan lain di luar bandar. Delapan kompasianer yang beruntung saling sapa dan berkenalan. Begitu pula dengan perwakilan dari Kompasiana (Nurul, Kiki, dan Resa), Indonesia Travel (Riri dan Elnie), Kementerian Pariwisata (Leo), dan juga dari pihak
Bintan Resort (Liana, Ben, dan Her). Penuh keakraban dan kekeluargaan. Masih ada 2 (dua) blogger lagi yang belum hadir. Mereka adalah sepasang suami-istri yang memang sudah menunggu di jalan, tepatnya di restoran dimana mereka semua akan makan siang bersama. Makan pertama kali yang akan mempertemukan semua dan apa-apa saja yang akan dilakukan selama
#BlogTrip demi penjelajahan
Pesona Indonesia. Keluarga baru sosok itu selama di Pulau Bintan. Keluarga baru yang selalu hadir selama ngabolang ke berbagai tempat. Keluarga baru yang harus dijaga kehormatannya. Keluarga kedua setelah keluarga kecilnya yang terpaksa ditinggal di Bandung. Kerinduan menggebu dan begitu dalam pada
Ummi Bindya sang belahan jiwa, Kakak Bibin, dan Adik Anin. Semoga bisa jalan bareng kembali ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya.
KEEKSOTISAN PULAU BINTAN DI PULAU PENYENGAT
Detik pertama keriuhan seluruh peserta Blog Trip ini adalah saat makan bersama di Restoran Sederhana. Semua hadir dengan lengkap. Itinerary pun dibagikan sehingga bisa mengetahui secara detail program acara selama tiga hari dua malam ini. Atribut berupa kaos, topi, dan pin yang bertulisan Pesona Indonesia juga dibagikan. Ada rasa bergemuruh di dada sosok itu. Perasaan yang bercampur aduk. "Bismillah...," bisiknya sebagai pembuka jalan agar tenang. Bus pariwisata yang mengantarkan mereka semua akhirnya berjalan dengan tenang. Kota Tanjung Pinang yang pernah diceritakan almarhum Bapak mertua mulai menemukan titik terangnya. Beberapa adegan seperti diputar kembali. Tentang masyarakatnya yang mayoritas bermata sipit, tentang jalan-jalannya yang naik turun dan jarang ditemukan polisi, tentang tempat-tempatnya, dan juga tentang apa saja yang mampu diingatnya. Hingga akhirnya rombongan yang dikoordinasi oleh pihak Bintan Resort sampai di sebuah kelokan. Itulah jalan yang akan menuju Pelabuhan Rakyat.
Sebuah gang yang nyaman karena pada bagian dinding di sebelah kiri terdapat grafiti yang dilukis oleh warga lokal tentang ciri khas kota tersebut. Ada tulisan, "Tanjung Pinang... Kampong Kite!" Gambar-gambar ikan hiu, keong laut yang menjadi ciri khas makanan mereka dan disebut dengan gonggong, serta otak-otak ikan. Beberapa motor berbaris rapi di sebuah tempat parkir di atas laut, begitu pula yang berjajar di sisi gang yang terus menjorok ke tengah laut. Ucapan-ucapan khas Melayu mulai terdengar jelas. Bau amis merebak. Para Kompasianer terus memotret dan bergerak ke ujung dermaga. Mereka rencananya akan menaiki perahu yang bertarif Rp200.000 untuk carteran PP ke Pulau Penyengat. Perahu-perahu kayu tertambat di sisi kiri-kanan dermaga. Pemandangan yang melembutkan hati dan melempar pikiran sosok itu ke masa silam saat dirinya masih tinggil di pesisir utara Jakarta, bertetangga dengan para nelayan. Petualangan keluarga baru mulai bergerak dengan harmonis. Wajah-wajah bahagia tampak begitu jelas terekam.
Ternyata jarak menuju pulau tersebut tidaklah jauh, hanya sekira 15 menit saja. Pulau Penyengat, menurut cerita adalah pulau mungil di muara Sungai Riau yang sudah lama dikenal oleh para pelaut dan dijadikan tempat persinggahan untuk mengambil air tawar yang memang cukup banyak tersedia. Menurut legendanya, nama 'Penyengat' diberikan saat para pelaut tersebut sedang mengambil air di salah satu sumur. Seorang pelaut tiba-tiba saja tersengat lebah yang tidak diketahuinya, dan itulah asal mula nama tersebut muncul. Pada saat pusat pemerintahan Kerajaan Riau dipindahkan ke pulau tersebut sekira 1803, namanya diresmikan menjadi 'Pulau Penyengat Indera Sakti' dan kemudian dijadikan pusat pertahanan. Pulau Penyengat dikenal sebagai pusat pemerintahan, adat istiadat, agama Islam, dan kebudayaan Melayu. Di sanalah terdapat Masjid Sultan Riau, Balai Adat, dan juga Kompleks Makam Raja Riau. Oleh karena itu kurang lengkap jika berkunjung ke Pulau Bintan tidak mampir ke Pulau Penyengat. Pesona Indonesia yang menyejarah.
Lihat Travel Story Selengkapnya