"Bang, nanti mudik gak?" tanya seorang kawan. "Insya Allah mudik," jawabnya singkat. "Mudik kemana?" Dia tertegun sesaat, lalu menjawab, "Sebenarnya gak mudik sih, lebih tepatnya mudak." Kawannya mengernyit, "Maksudnya?" Sosok itu tersenyum, "Kalau mudik kan pasti ke kampung halaman yang kesannya tuh di kota-kota kecil, sedangkan saya mudiknya ke Jakarta, ke kota metropolitan."
Ya, begitulah dialog yang sering dia lakukan setiap tahunnya. Tidak ada yang berbeda. Kalau dijawab 'mudik' pasti ditimpali 'itu mah bukan mudik'. Habis mau bagaimana lagi? Kampung halamannya memang di Jakarta meski kedua orangtuanya asli Madiun-Wonosobo. Panggilan 'Bang' pun disematkan karena rasa Jakartanya yang begitu kental. Ditambah lagi kakak dan adiknya menikah dengan orang asli Betawi.
INILAH RASA MUDIK KE JAKARTA?
Itulah mengapa sedari kecil dirinya tidak terlalu tahu bagaimana rasanya mudik ke kota-kota kecil yang biasanya berpusat ke arah timur dari Jakarta. Kalau dari Bandung ya tahunya banyak yang mudik ke Garut, Tasikmalaya, dan seterusnya. Hanya sekali dia mudik ke arah timur, itupun setelah berlebaran di Jakarta, balik lagi ke Bandung, lalu lanjut ke Cilacap dan akhirnya ke Jogja. Benar-benar perjalanan yang panjang.
Lalu bagaimana rasanya mudik ke Jakarta? Jelas istimewa. Mudik adalah tradisi umat Muslim di Indonesia dimana keluarga besar pada berkumpul di suatu kota yang biasanya tempat tinggal orang yang dituakan. Bisa orangtua atau kakek/nenek. Sosok itu berkumpul di Jakarta karena orangtuanya memang di sana, hingga kemudian sekarang telah tiada. Sebagai penggantinya, ada paklek/bulek di Tangerang.
Suasana berkumpul bersama keluarga besar adalah momen yang begitu istimewa, di mana pun tempat mudiknya. Kangen karena sudah lama takbersua dan kepada merekalah tempat kita semua bisa merasakan arti sebuah keluarga. Dan mudik ke Jakarta jelas lebih istimewa lagi. Jakarta di hari lebaran sangat berbeda dengan hari-hari biasanya. Sepi, lebih segar, dan entah mengapa terasa begitu ramah.
Pengalaman mudik yang paling berkesan selama pulang ke Jakarta adalah saat menggunakan motor dan kereta. Kebetulan saat itu dia baru memiliki motor (meski bekas) dan anak-anak masih kecil, sehingga diputuskan untuk ke Jakarta naik motor berempat melewati Jonggol. Barang-barang sudah dikirim duluan menggunakan travel, jadi yang ada di motor hanya manusianya saja. Perjalanan yang melelahkan.
Menjadi pengalaman yang berharga karena saat anak-anak kecapaian, segera berhenti sejenak. Dan setelah sampai di tujuan, tentu saja keuntungannya bisa berkeliling Jakarta untuk bersilaturahim plus jalan-jalan. Keluarga kecilnya bahkan menyempatkan diri berwisata ke Monumen Nasional (Monas) yang saat itu masih sepi dan bisa naik ke tugu emasnya. Naik motor di Jakarta yang sepi itu menyenangkan sekali.
Pengalaman kedua adalah mudik ke Jakarta dengan naik kereta. Benar-benar naik kereta terus hingga sampai ke Tangerang. Berangkat dari Stasiun Kiaracondong menuju Stasiun Jatinegara menggunakan KA Serayu. Lalu dilanjut dengan KRL ke Stasiun Duri dan pindah kereta untuk menuju Stasiun Tangerang. Setelah bersilaturahim, keluarga kecil mereka pun berjalan-jalan keliling kota Jakarta dengan kereta kembali.
JAGA KESEHATAN DAN KESELAMATAN SELAMA MUDIK
Dari pengalaman tersebut, sosok itu mencatat ada dua hal penting yang harus dijaga selama mudik. Menjaga kesehatan dan keselamatan. Tidak ada yang jauh lebih penting dari dua hal itu. Kalau tubuh sehat maka mudik akan berjalan dengan lancar dan menyenangnya, begitu pula kalau bisa selamat sampai tujuan, makin paripurnalah mudiknya. Begitu pula saat kembali ke Bandung, tetap sehat dan selamat.