Di tempat duduknya, sosok itu mematung. Sudah hampir setengah jam kedua tangannya terus memegangi kepala. Pandangannya seolah-olah kosong. Buku tulis di hadapannya pun seperti hilang. Angin yang berhembus dari arah jendela di sebelahnya seperti tidak bisa mengusik lamunannya yang teramat panjang. Angin itu pula yang membuat lembaran-lembaran kertas bukunya bergerak-gerak. Bahkan, suasana kelas yang ramai pun seperti tidak bermakna di telinga dan matanya. Ia seperti berada di dunia lain. Dimana yang ada hanyalah gelap. Pekat. Tetapi bergemuruh.
Dalam ruang yang gelap itu, bayangan-bayangan berkelebat di sekelilingnya. Kecepatannya pun berubah-ubah. Beberapa di antaranya membentuk slide-slide bergambar. Layaknya sebuah film yang diputar di gedung bioskop.Â
Menampakkan beberapa episode kehidupannya yang telah lampau. Terutama yang berhubungan dengan sosok yang kini sedang dilamuninya. Sosok perempuan yang berulang-ulang hadir dalam slide-slide itu. Yang kadang tertawa. Kadang melotot. Kadang mencibir. Kadang menjulurkan lidah. Kadang tersenyum, tetapi senyum yang mengejek.
Salah satu slide itu kemudian menampilkan dirinya yang berdiri terpaku di depan sebuah kelas. Kelas barunya di sebuah sekolah negeri tingkat pertama. Seragam putih-birunya pun masih baru. Ia terlihat ragu-ragu ketika memasuki kelas itu. Yanto memandang ke seluruh ruangan kelas, mencari bangku kosong. Dan ia menemukan satu tempat kosong, yaitu berada di deretan ketiga dari depan dan barisan kedua dari kiri. Di sana, duduk seorang murid perempuan yang sedang asyik membaca komik.
Rambut perempuan itu dikepang, dengan ikatan pita merah. Dari bentuk wajahnya yang oval, kulit yang langsat, bibir tipis, alis mata tebal, sosok itu menilai kalau perempuan itu sangat cantik.Â
Sangat beruntung ia dapat duduk di sampingnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia pun langsung menuju ke tempat itu dan duduk begitu saja di sampingnya. Tiba-tiba suasana kelas kembali hening. Yanto pun sadar kalau pandangan teman-teman barunya di kelas itu sedang menghujam dirinya. Termasuk pandangan perempuan di sebelahnya yang melotot tajam.
"Emangnya kamu siapa?! Berani-beraninya duduk di sebelahku?!" teriak perempuan berkepang itu langsung berdiri. Kedua tangannya berkacak pinggang. "Nggak ngaca apa kalau muka sama penampilan kamu tuh tidak pantas untuk duduk di sini?!" Kedua tangan perempuan itu tiba-tiba saja langsung mengambil tas Yanto dan melemparkannya ke lantai. "Cih! Dasar mata empat nggak tahu diri!"
Saat itu, tubuh Yanto terasa seperti mengecil. Hingga hanya sebesar semut yang langsung berlari terbirit-birit. Mukanya memerah karena rasa malu yang amat sangat. Slide itu lenyap. Bayangan-bayangan pun berkelebat lagi.Â
Hingga akhirnya sebuah slide lain muncul. Yoyok yang sedang berjalan di koridor sekolah. Di tangannya terpegang semangkok baso yang dipesan oleh guru IPA-nya. Ia berjalan begitu hati-hati agar kuah baso yang penuh itu tidak ada setetes pun yang tumpah.
Apalagi pada jam istirahat, banyak murid-murid yang lalu-lalang tanpa memperhatikan jalan. Terutama yang berlari-lari. Sementara tak jauh di depannya, Yani dan kedua temannya sedang asyik mengobrol sambil mengemut permen lolipop. Yanto langsung menunduk.Â
Tepat ketika sosok itu lewat, tiba-tiba saja Yani mundur sambil memegang perutnya dan tertawa. Seolah-olah ia memang tidak sengaja melakukan hal itu karena mengobrol sesuatu yang sangat lucu. Keruan saja, tubuh Yani pun langsung menabrak tubuh Yanto.