Bulan Ramadan memang bulan yang penuh berkah. Keberkahannya meluas hingga pada rezeki yang melimpah, seolah-olah setiap Muslim pada bulan ini harus bahagia. Jika pada hari biasa tidak banyak pedagang atau pengusaha yang turun ke jalan, bulan puasa ini tiba-tiba saja hampir setiap tetangga di sekitar menyulap dirinya menjadi pedagang. Jalanan kompleks yang biasa sepi tiba-tiba saja jadi ramai.
Siapa pun berhak mencari berkah di Bulan Ramadan ini. Siapa pun berhak mencari untung dengan menjual apa saja yang menyegarkan untuk berbuka puasa. Siapa pun berhak demi hari lebaran yang harus bahagia. THR atau Tunjangan Hari Raya bukan lagi monopoli para karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan, tetapi hak setiap orang di Indonesia, termasuk para pedagang dagangan.
Tidak terkecuali dengan Bu Sri Warhyuni alias Teh Yuni yang tinggal di gang kecil di Papanggungan. Lahan yang digarap adalah berjualan kue-kue kering untuk lebaran. Selalu begitu setiap tahun. Memang bukan pemain baru, tetapi berdagang saat menjelang Bulan Ramadan tetaplah terhitung pedagang dadakan. Entah sudah berapa macam kue kering yang dibuatnya, belum kue-kue coklat yang tahun ini ditiadakan.
Mengapa tidak ada? Ini masalah pilihan. Apalagi memang dua hingga satu bulan menjelang bulan puasa belum ada modal. Dibutuhkan pegawai yang fokus ke kue coklat dan kue kering. Sulit mencari SDM yang bisa keduanya. Meski ketemu dan ada yang bisa, energinya sudah habis untuk fokus pada satu macam kue. Dilema. Sosok itu kemudian ke rumah produksinya dan mencari tahu tentang usaha kue keringnya itu.
Tanya: Teh, sudah berapa lama menekuni kue kering ini?
Jawab:Â Ada lah lebih dari lima tahun. Awalnya meneruskan usaha almarhumah ibu. Saya fokus pada produksinya sedangkan adik fokus pada marketingnya.
Tanya: Apakah hanya fokus pada kue kering lebaran? Apa tidak tertarik dengan membuat kue kering sehari-hari?
Jawab: Gak deh. Segitu juga udah uyuhan. Capek. Mending di luar Ramadan dan lebaran, ngurusin keluarga. Kan suami juga pegawai kantoran. Kalau pas Ramadan hingga lebaran, suka kasihan sama anak-anak, mereka seperti dicuekin hehehe.
Tanya: Jadi, kue-kue apa saja yang diproduksi kali ini? Sama gak seperti tahun-tahun kemarin?
Jawab:Â Gak sebanyak tahun kemarin. Paling cuma putri salju, coklat cup, stick coklat, kue polong, havermaut almond, kue abon, cornflake putih, nastar keju, kastangel, sagu keju, choconut, merikis, golden eye, kelapa keju, dan janit. Tahun ini gak bikin kue coklat karena gak ada orang. Biasanya ada adik yang bungsu ngurusin kue-kue coklat itu. Sekarang dia sibuk pisan di kantornya.
Tanya: Oya, dengar-dengar tahun ini hampir tidak produksi ya? Boleh tahu kenapa?
Jawab: Masalah klasik sih. Gak ada modal. Dulu suami masih punya uang buat nutupin modal. Bisa beli oven bakar dan tabung gas besar. Beli peralatan ini dan itu. Beli bahan-bahan, dan termasuk menggaji orang-orang yang ikut bantu. Sekarang suami gak punya uang. Bahkan sebulan sebelum bulan puasa sudah mau memutuskan gak akan produksi.
Tanya: Lalu, ada pemodal? Siapa dan berapa?
Jawab: Ada lah hehehe. Salah satu fintech. Dulu sering ada pemodal dari kalangan saudara atau kawan. Pembagian keuntungannya dengan bagi hasil. Sekarang ya pinjaman saja, gak ada bagi hasil. Ya sekarang kan zamannya sudah canggih. Tahulah sulitnya meminjam uang ke bank. Sudah pengalaman dan sering ditolak, karena harus ada jaminan.Bersyukur saja ada fintech yang mau mengucurkan dananya. Gak besar sih, cuma 20 jutaan.
Tanya: Memang berapa sih modal yang dibutuhkan?
Jawab: Berapa ya? Relatif sih kalau ditanya besar modal. Tinggal pinter-pinter aja muterinnya. Dengan modal segitu, berapa kue yang bisa dibuat. Berapa orang yang bisa membantu. Gitu lah. Jangan dibuat sulit.
Tanya: Untuk keperluan apa saja modal yang diterima tersebut?
Jawab: Ya, untuk membeli bahan-bahan lah. Kan sudah ada tuh oven bakar dan tabung gas, termasuk loyang, dan peralatan yang dibutuhkan. Setelah itu survei harga bahan-bahan pokok, apa yang mudah dicari, baru dari sana ditentukan mau buat kue kering apa. Kalau putri salju dan nastar sudah jadi kue wajib, paling laku. Modal tersebut digunakan untuk membeli toples, tepung terigu, gula halus, cokelat, kacang (tanah/polong/almond), mentega, abon, cornflake, keju, kismis, kelapa, dll. Modal itu juga digunakan untuk membayar gaji orang-orang yang ikut ngebantu.
Tanya:Â Berapa orang yang ngebantu dan digaji berapa?
Jawab: Sehari rata-rata lima orang, tetapi kalau malam minggu bisa lebih dari itu. Ya ... tetangga-tetangga saja yang memang sudah biasa ngebantu. Ada juga saudara. Sehari mereka dibayar 50 ribu rupiah per kepala. Kerjanya dari jam 8 sampai maghrib.
Tanya:Â Jadi kalau modal 20 juta, berapa harga jual kuenya? Berapa yang sudah terjual?
Jawab: Rentang harganya dari 65 ribu sampai 75 ribu rupiah. Rata-rata ya 75 ribu lah. Alhamdulillah sampai hari ini sudah ada 350 toples yang terjual. Dari pesanan yang masuk, diperkirakan akan mencapai lebih dari 500 toples sampai lebaran nanti. Oya, kita baru mulai seminggu sebelum bulan puasa dan biasanya bakal selesai pas lebaran.
Tanya: Teh, tidak khawatir dengan berita-berita yang menyebutkan kalau fintech itu bunganya besar? Dan kalau telat bakal diteror? Bagaimana cara mengembalikan modalnya?
Jawab: Tahu sih berita itu. Ngeri juga ya kalau mendengar berita-berita seperti itu. Di satu sisi kasihan pada yang berhutang dan gak habis pikir mengapa tagihannya bisa berkali lipat, tapi di sisi lain juga sering bertanya kenapa dia gak bisa bayar cicilan. Tapi simpelnya gini aja, cicilan saya kan cuma dua kali dan kejadian yang di berita-berita itu kan kalau telat bayar. Ya, usahain aja gak sampai telat bayar. Pokoknya habis lebaran sudah beres semua hutang dan syukur-syukur ada keuntungan. Amin.
Sosok itu mengamini. Kalau dihitung kasar, dengan rata-rata harga kue lebaran 75 ribu per toples dan yang terjual mencapai minimal 500 toples, maka keuntungan kotor Teh Yuni adalah 37,5 juta rupiah. Gaji lima orang perhari adalah 250 ribu rupiah. Taruhlah efektivitas kerja adalah 30 hari, jadi total pengeluaran untuk menggaji pegawai mencapai 7,5 juta rupiah. Masih ada keuntungan kotor 30 juta rupiah.
Hitung sendiri deh berapa keuntungan Teh Yuni kalau ternyata kue lebarannya laku terjual sampai 600 atau 750 toples. Alhamdulillah bakal punya THR sendiri dan bahkan turut membantu para tetangga yang membantunya. Sedangkan modal yang diterimanya bisa langsung dilunasi setelah produksi kue selesai. Meski hanya bisnis setahun sekali, tetapi jelas bisnis yang ditekuninya bukan bisnis kaleng-kaleng. Berminat?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H