Berlarilah untuk meraih apa yang ingin diraih
Kendati harus tertatih dan berteriak dalam pedih
~ Bang Aswi (6 Feb 2010)
Lari, satu kata yang di Indonesia saat ini, telah menjadi ajang olahraga yang paling ditunggu setiap eventnya, entah di kota apa. Mau jarak 5K, 10K, hingga Full Marathon atau trail, selalu diserbu para pendaftar. Tidak tanggung-tanggung, ada event yang saat dibuka pendaftarannya, hanya beberapa jam saja slotnya langsung habis bak kacang goreng. Padahal eventnya sendiri bisa jadi masih sepuluh bulan lagi.
Entah ini memang harga tiketnya yang kemurahan atau orang-orangnya yang sudah pada gila lari. Entahlah. Bagi sosok itu sendiri, harga tiket lari masih terbilang mahal. Kalau eventnya diselenggarakan di luar Kota Bandung, tentu harus berpikir lagi biaya penginapan dan transportasi. Namun, event lari masih laris manis. Masih diburu dan dicari. Slot lari yang sudah terlanjur dibeli, bahkan masih bisa laku dijual lagi.
Pada tahun 2019 ini, tepatnya akhir bulan April kemarin, Mandiri Jogja Marathon (MJM) baru selesai digelar untuk ketiga kalinya. Kompetisi marathon skala internasional itu diikuti sekira 7.500 pelari dari sebelas negara yang terbagi dalam kategori Full Marathon, Half Marathon, 10K, dan 5K. Rutenya melintasi 13 desa di Jogja dan 3 destinasi wisata utama seperti Candi Prambanan, Candi Plaosan, dan Monumen Taruna.
Dapat dibayangkan keseruannya berlari di sana, sambil melihat pemandangan alam, peninggalan sejarah, sawah, nuansa pedesaan, dan kesenian lokal atau makanan tradisional yang ditampilkan oleh masyarakat desa setempat. Jogja bagi sosok itu, adalah seperti kampung kedua setelah Bandung. Setiap meter di Jogja memberikan kesan mendalam baginya. Gak heran, dia sudah menjelajah Jogja dengan bersepeda dan berlari.
JOGJA DAN PENGALAMAN LARI DI SANA
Jogja dianggap sebagai kampung kedua karena keluarga istri memang berasal dari sana, tepatnya di Desa Patran, Bantul. Otomatis sering bolak-balik ke sana dengan berbagai keperluan, dari acara keluarga sampai pekerjaan. Pengalaman lari pertama di Jogja adalah saat bapak mertua meninggal. Setelah jenazahnya dikebumikan di desanya, sosok itu sementara waktu harus tinggal selama seminggu guna keperluan tahlilan.
Pagi harinya, dia mencoba joging di sana dengan jarak sedang saja. Hasilnya dia begitu bahagia. Berbeda rasanya berlari di antara pesawahan yang masih hijau. Beberapa petani atau warga desa bersepeda onthel tersenyum ramah padanya. Meski cuaca di Jogja panas, tetapi tidak menghilangkan aroma khasnya. Pengalaman lari kedua terjadi pada akhir tahun lalu. Meski ada urusan pekerjaan, sosok itu tetap menyempatkan diri untuk berlari.

Judulnya sih, lari di kota. Menginap di salah satu hotel di Jl. HOS Cokroaminoto, dia berlari selama dua hari dengan rute yang berbeda. Rute pertama melalui Jl. HOS Cokroaminoto, Jl. Kyai Mojo, Jl. Pangeran Diponegoro, Jl. Pangeran Mangkubumi, Jl. Maliboro, Jl. KH. Ahmad Dahlan, dan kembali ke Jl. HOS Cokroaminoto. Total jarak yang ditempuh adalah 7,72K. Lari kedua dia mengambil jalur selatan mengelilingi keraton sejauh 7,56K.