Jangan pernah mengangap sepele
pekerjaan yang kita lakukan,
apapun bentuknya dan bagaimanapun kecilnya
di mata kita maupun di mata masyarakat.
Itulah kalimat awal yang sosok itu buat saat pertama kali menulis di Kompasiana. Istimewa? Entahlah. Dia menulis artikel pertama dengan judul Penjual Bunga Cempaka dan dimuat pada 26 November 2009. Kontennya bercerita tentang seorang nenek penjual bunga Cempaka yang gemar memunguti daun-daun kering di halaman masjid setelah menunaikan shalat Dzuhur.Â
Sederhana namun maknanya begitu dalam. Sang nenek mengatakan, "Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan shalawat kepada-Nya. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya."
Dia merinding sendiri membaca tulisan itu. Itulah artikel pertamanya di Kompasiana, yang artinya sudah 8 (delapan) tahun dia menulis di Kompasiana, setahun setelah media ini dilahirkan. Sekali lagi ... sederhana. Dia hanya memulai langkah kecil dengan memulai menulis. Langkah kecil yang tidak boleh dianggap sepele.Â
Apapun pekerjaannya. Hari-hari berikutnya, dia lebih sering menulis fiksi di Kompasiana. Entah mengapa. Mungkin tema itulah yang bisa mewakili dirinya di sana. Selanjutnya dia pun tergoda untuk mengikuti beberapa kompetisi blog yang sering diselenggarakan Kompasiana. Besaran hadiahnya menggiurkan.
Perjuangannya tidak bertepuk sebelah tangan. Dua tahun tiga bulan kemudian akhirnya dia berhasil memenangkan sebuah lomba blog yang diadakan oleh Taman Impian Jaya Ancol. Temanya tentang ide sebuah acara yang bisa dikerjakan di Ancol. Dia bangga pernah menulis Ancol Rally Party yang dimuat pada 16 Februari 2012.Â
Meski tidak berturut-turut, dia pun memenangkan beberapa lomba di kemudian hari. Tiga artikel di antaranya adalah Mengenal Risha dari Dekat yang dimuat pada 15 Mei 2015, Meramaikan (Kembali) Gelaran PON Jabar 2016 yang dimuat pada 14 Desember 2015, dan The Best Western at The Best Land yang dimuat pada 25 Februari 2016.