Bang Aswi ~ Sepulang dari menghadiri International Board on Books for Young People (IBBY) di Benua Eropa beberapa waktu lalu, seorang kawan bercerita betapa bangganya dia sebagai orang Indonesia. IBBY adalah sebuah ajang pertemuan dunia para akademisi, penulis, ilustrator, penerbit, pendongeng, guru, orang tua, dan ada banyak lagi profesi dan jabatan yang peduli pada bacaan anak-anak.
Kebanggaan kawan itu adalah saat ada salah satu delegasi dari Belgia yang mengatakan betapa hebatnya Indonesia. Katanya, Indonesia memiliki bahasa persatuan yang unik, padahal ada ratusan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Sedangkan Belgia tidak memiliki bahasa persatuan. Memang ada tiga bahasa yang digunakan tetapi itu pun adalah bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris.
Ajip Rosidi, pada kolom Stilistika di HU Pikiran Rakyat (11/07), menyatakan bahwa ia amat menyayangkan Presiden SBY banyak sekali menggunakan kata-kata dan ungkapan bahasa Inggris di Forum Kadin. Permasalahannya bukan pada mengerti atau tidaknya para hadirin, tetapi tidak pada tempatnya Presiden SBY berbicara dengan sebentar-sebentar diselingi atau dicampur dengan bahasa Inggris, seakan-akan bahasa Indonesia tidak cukup mampu atau tidak cukup terhormat untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya.
Ajip Rosidi kemudian membandingkannya dengan Bung Karno dan Bung Hatta yang boleh dikatakan menguasai bahasa Belanda dan Inggris jauh lebih baik. Akan tetapi mereka berdua kalau berbicara dalam forum resmi tetap menjaga hanya berbicara dalam bahasa Indonesia. Terkecuali istilah-istilah yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Mereka melakukan hal itu karena untuk menunjukkan rasa bangga dan rasa hormatnya terhadap bahasa nasional dan bahasa negaranya.
Sebagai presiden dan wakil presiden, keduanya sadar bahwa kebiasaan mereka akan menjadi perhatian dan tidak mustahil diikuti oleh rakyat banyak. Mereka menghormati dan menjunjung bahasa nasionalnya. Mereka tidak mempunyai rasa rendah diri berbicara dengan bahasa nasionalnya, bahkan mereka melakukannya dengan penuh perasaan bangga. Mereka tidak merasa takut dianggap bodoh dan dianggap tidak pandai berbahasa asing, sehingga tidak perlu menyelipkan kata-kata dan ungkapan bahasa asing.
Mereka membuktikan bahwa bahasa Indonesia dapat memenuhi kebutuhan mereka dalam mengemukakan perasaan dan pikiran yang betapa rumitnya sekalipun. Kalau presiden saja suka beringgris ria dalam forum resmi yang disiarkan ke seluruh tanah air, niscaya para bawahan dan orang banyak akan mengikutinya dengan suka ria. Sekarang pun beringgris ria sedang menjadi mode yang kian merebak dalam masyarakat. Kebiasaan itu seakan-akan hendak menunjukkan bahwa mereka lebih fasih berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia–walaupun lafalnya mungkin menyatakan sebaliknya.
Bahasa Indonesia sebenarnya telah menunjukkan pencapaian yang luar biasa selama kurang lebih tiga perempat abad. Bahasa Indonesia terbukti mampu digunakan untuk mengungkapkan perasaan yang sehalus-halusnya dan seindah-indahnya seperti tampak dalam karya-karya sastranya. Bahasa Indonesia juga terbukti mampu digunakan untuk menuliskan pikiran-pikiran yang betapa pun rumitnya seperti tampak dalam karya-karya ilmiah dan falsafah yang ditulis di dalamnya.
Banyak bangsa lain yang menyatakan kekaguman terhadap bangsa Indonesia pada awal kemerdekaan karena dua hal. Pertama, bangsa kita merebut kemerdekaan dengan perjuangan fisik dan diplomasi yang seru, sehingga melibatkan PBB dan negara-negara maju. Kedua, karena bangsa kita sejak awal sudah mempunyai satu bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Adakah negara-negara lain (yang bahkan serumpun) yang seperti bangsa kita? Tidak ada. Hampir kebanyakan dari mereka juga mengikutsertakan bahasa penjajah sebagai bahasa nasional pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
Sungguh ironis melihat perkembangan bahasa Indonesia sepuluh tahun terakhir ini yang tidak lagi dihormati dan dibanggakan, terutama oleh mereka yang tinggal di perkotaan dan mengklaim sebagai kaum elite atau intelektual. Lihat juga iklan-iklan pada media cetak atau elektronik dan pada tempat-tempat umum atau sepanjang jalan yang banyak menggunakan bahasa Inggris. Aneh sekali, mengingat bahwa sasaran iklan itu adalah orang-orang Indonesia yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris.
Tidakkah masyarakat kita seperti masyarakat Jepang yang bangga dengan bahasa nasionalnya sendiri. Menurut Tsukasa Iga, seorang kawan dari Jepang, masyarakatnya tidak terlalu mengenal Facebook tetapi mereka mempunyai situs jejaring sosial sendiri yang tentu saja menggunakan tulisan kanji. Begitu pula dengan tulisan-tulisan pada blog mereka yang berkanji ria. Tidakkah kita bangga bahwa bahasa Indonesia sudah diakui oleh Google, Wikipedia, dan bahkan Facebook sendiri?
Kembali mengutip pernyataan Ajip Rosidi, terhadap kenyataan dalam masyarakat bahwa bahasa nasional, bahasa negara, yaitu bahasa Indonesia semakin dipojokkan, seharusnya presiden (saat ini dan nantinya) merasa sedih dan bukan mendorongnya dengan dia sendiri beringgris ria. Wallahu’alam.