Sejauh ini jika mengacu pada data yang diterbitkan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), menyebutkan bahwa negara Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yakni hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang dikatakan rajin membaca.
Selain data dari UNESCO, permasalahan tentang kurangnya minat baca masyarakat Indonesia kian diperparah dengan telah keluarnya hasil riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menduduki peringkat ke-60 dari total 61 negara soa minat baca. Persisnya berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Hal tersebut menjadi suatu ironi, karena sejatinya jika dinilai dari sisi infrastruktur untuk mendukung kegiatan dalam bidang pendidikan misalnya literasi, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara di benua Eropa.
Mengacu pada dua data di atas, tentu ada hal yang salah dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran kita saat ini. Memang, ketidaksetujuan pernyataan tersebut baru sebatas asumsi penulis. Akan tetapi, jika kita memosisikan diri sebagai guru atau pengajar di dalam kelas. Kita bisa melihat secara realitas, bahwa kurang minatnya peserta didik maupun mahasiswa sekalipun dalam hal membaca menjadi pemandangan lumrah akhir-akhir ini.Â
Misalnya saja, saat waktu pembelajaran sudah dimulai. Biasanya seorang guru akan mempersilakan siswa di kelas untuk membaca buku atau bahan bacaan tertentu selama kurang lebih 5-10 menit. Setelah itu, siswa akan disuruh untuk mengungkapkan hal-hal esensial atau poin-poin penting yang didapat dan dipahami dari bahan bacaan yang telah dibaca.Â
Dari situlah kita dapat melihat bahwa dari total 32 anak dalam satu ruang kelas, hanya ada beberapa yang bisa menerangkan dan menyampaikan poin-poin penting apa saja yang didapatkan setelah membaca buku atau bahan bacaan tertentu selama 5-10 menit di hadapan teman-temannya dalam kelas.
Permasalahan dari kurang minatnya anak-anak dalam hal membaca buku justru kian diperparah dengan fenomena plagiarisme yang terjadi akhir-akhir ini. Tentu selaku akademisi kitapun pernah mengalami situasi bahwa dalam menulis atau membuat suatu karya tulisan ilmiah kita diharuskan untuk mencari suatu sumber buku atau referensi tertentu guna dijadikan bahan rujukan dalam tulisan.Â
Hal tersebut tentu tak salah, mengapa karena kita di waktu bersekolah atau berkuliah diharuskan mencari banyak sumber-sumber materi tambahan, memperkaya referensi atau perbendaharan kata, serta memperluas khazanah keilmuan dengan banyak membaca buku.Â
Jika sudah terbiasa membaca buku, kita akan terbiasa dan mudah untuk menuangkannya menjadi sebuah tulisan sambil mencantumkan nama penulis dalam suatu tulisan tertentu. Akan tetapi, masalah muncul ketika beberapa anak justru dengan sengaja melakukan apa yang dinamakan plagiarisme/plagiat.Â
Menurut Lester, plagiasi adalah mengemukakan kata-kata atau pendapat orang lain sebagai kepunyaan kita sendiri. Hal senada juga disampaikan oleh Silverman yang berpendapat bahwa plagiasi adalah menulis fakta, kutipan, atau pendapat yang didapat dari orang lain atau dari buku, makalah, film, televisi, atau tape tanpa menyantumkan sumbernya
Berdasarkan dua pendapat di atas tentang apa yang dimaksud dengan plagiasi, kita dapat memahami bahwa kegiatan plagiasi merupakan perilaku tidak terpuji atau tercela yang sengaja merampas hak-hak kekayaan intelektual seseorang dan dilakukan dengan sengaja tanpa meminta izin dari penulis atau sumber pemilik karya tersebut.Â
Lalu jika perilaku plagiasi sudah sering dilakukan oleh seseorang apa dampak buruk yang ditimbulkan bagi si pelaku plagiasi?
Jeratan HukumÂ
Bagi si pelaku plagiarisme, tindakan melanggar hukum akibat dari perbuatan melakukan plagiasi memang tak semuanya dapat ditindak secara hukum. Namun, jika perilaku plagiasi sudah dilakukan dan menghasilkan suatu keuntungan tanpa sepengetahuan si penulis aslinya atau pencipta aslinya maka akan menyebabkan pelaku plagiasi dapat ditindak secara hukum.
Berdasarkan pasal 2 UUHC, pelaku plagiarisme dapat dijerat dengan ancaman pidana menurut pasal 72 ayat (1) UUHC dengan dipidana dan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda hingga maksimal Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
Memperburuk Reputasi
Seseorang yang terbiasa melakukan plagiasi akan mendatangkan dampak negatif bagi diri si pelaku plagiasi itu sendiri. Termasuk ketika ia akan mencoba membuat dan memublikasikan suatu karyanya di media sosial atau dalam bentuk produk, keaslian dari karya yang ia telah ciptakan akan senantiasa dipertanyakan oleh sebagian orang. Anggapan negatif yang muncul dari sebagian orang tersebut akan membuat reputasi dan kualitas anda sebagai penulis tak berkembang dan justru semakin ditinggalkan oleh para pembaca atau penikmat sebuah karya.
Karya Tulis Tak Berkembang
Perilaku plagiasi memang dapat menghadirkan banyak dampak negati bagi para pelakunya. Termasuk tak berkembangnya karya tulis seseorang. Misalnya, ketika pelaku terbiasa melakukan plagiasi dengan mengopy-paste suatu tulisan tanpa membiasakan diri mencantumkan sumber atau referensi pencipta tulisan atau suatu karya tertentu tanpa belajar untuk menerbitkan dan mengonsep serta membuat karya tertentu berdasarkan pemahaman dan intuisi pribadi maka hanya akan membuat sajian karya tak berkembang. Ide-ide brilian dan inovasi yang seharusnya dapat dimunculkan dalam suatu sajian karya justru tak tampak atau terbaca oleh pembaca. Lebih dari itu, pelaku plagiasi dengan karyanya akan terdiskreditkan dan tersisih dengan sendirinya dan bahkan akan ditinggalkan oleh pembaca.
Menyuburkan Sikap Malas
Akibat yang paling sering dirasakan oleh para pelaku plagiasi adalah semakin meningkatnya perasaan malas dalam diri. Terbiasa menjiplak, meniru, menyalin tanpa membaca dan mengonsep sesuai pemahaman sendiri akan semakin membuat diri terbiasa melakukan jalan pintas dan instan dalam membuat suatu sajian karya.Â
Sikap malas seharusnya dapat kita perangi dan hindari dengan mencoba selalu meningkatkan kemampuan literasi, membaca secara kritis dan intensif, serta selalu belajar untuk mengonsep suatu tulisan atau karya lainnya berdasarkan ide, kreativitas, maupun inovasi pribadi agar karya yang bersifat orisinalitas dapat terpublikasikan dengan baik kepada pembaca atau penikmat karya.
Itulah beberapa dampak dari perilaku plagiasi, semoga kita terhindar dari perilaku plagiarisme yang hanya menjiplak dan mencomot suatu karya tanpa menghargai ide orang lain.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H