Di awal malam, rintik hujan dan derit jendela kamar dimainkan angin seperti rangkaian simponi mengiring ke peraduan. Binatang malam enggan keluar sarang karena bumi diselimuti air langit... dingin, tak ada cengkrama mereka.
Imajinasi insani berkelana menembus dan membelah rintik hujan. Sujud diawal malam dilaksanakannya karena terpatri sebuah nasihat, "keluarlah kau dari batang tubuhmu, keluarlah kau dari hukumku dan suruhku, maka kau akan sampai kepadaku".
Insani kembali merenung, dibiarkannya tetes airmata membelah pipinya. Mengenang kealpaannya, mengenang cintanya, mengenang Tuhan dan Rasulnya, dan mengenang kedua orangtuanya. Doa pujian, permohonan ampun, dan pengharapan di langitkannya.
Diakhir doanya tertitip rindu buat sang kekasih.
Insani kembali berjalan membelah gelapnya malam dan rintik hujan.
Perenungannya berlanjut terhadap berjuta tanya yang bergelayut di rasa dan fikirnya.
Dia mencari jawab diantara mozaik hidupnya.
Tak bertemu jawab, mungkin... tapi ada pengharapan untuknya.
Insani bukanlah insan yang lemah. Mungkin dia akan berjuang bersama, atau sendiri pun dia tak akan surut. Tekad untuk melindungi sang kekasih terpatri kuat dalam dadanya.
Dia tak akan menyerah, dia tak akan mengeluarkan kata "Terserah". Karena kata itu adalah simbol kelemahan insani dan bukti ketidak cintaannya pada sang kekasih. Dia akan memakukan Rasanya tanpa ada yang bisa mengetahui, apa dan bagaimana yang dirasakannya.
Sepoi angin malam berhembus menembus pelataran rumah. Bunga-bunga bergoyang, dan rintik hujan tetap dalam iramanya. Dingin.. tak ada teman disampingnya selain seduhan teh tawar dan kepulan asap rokok. Pikirannya menerawang jauh, menembus awan, hujan, dan dinginnya malam. Hidup dan cinta adalah pertaruhan buat dia. Seperti berjudi, dia tak berharap untuk menang, tapi dia selalu berdoa agar dia layak untuk kekasihnya.