Tetes air kran satu2 jatuh di wadah berair, berpadu dengan suara detik jam. Langkah berat dari arah lorong, lelaki tua berjalan lewati pojok rumah, wajahnya tenggelam diantara kepulan asap rokok yang terselip di jarinya.
Penghuni rumah terlelap, di buai mimpi indahnya.
Aku... resah, tak tau karena apa, karena siapa.
Kutelusuri alam sadarku, tak kutemukan jawabnya. Ku telusuri alam mimpiku, hanya satu wajah yang kutemukan. Tanpa senyum, apalagi suara. Yang ada hanyalah desah nafas kecewa.
Ku telusuri pikir liarku, yang kutemukan debur ombak tanpa laut. Ku telusuri imaji tentangnya, ku temukan peluh diwajah lelah itu. Dengan tergesa-gesa berburu waktu dia berjalan entah kemana. Ku coba meraih ujung kainnya, di tampiknya, kucoba memanggil dengan lirih, tak didengarnya.
Aku terdiam, aku tersadar, aku terhenyak.
Perlahan aku berbalik dan dengan gontai kutelusuri pekatnya malam. Pelan-pelan langkah ku satukan untuk meraih tujuan. Tak apalah langkah tertatih ini berjalan sendirian.
Mungkin karena aku sang pendosa, sehingga jalannya seperti ini. Harapan dituntun sang malaikat perlahan mulai pudar. Jalanku gelap, terkubur bersama asa. Temaram malam tak mampu menerangi jalan ini. Tak apalah... mungkin asaku menjadi resahnya. Tak apalah... tingkah nyataku adalah duri baginya.
Tapi apakah aku salah mencari cinta dari sang malaikat?
Resahku diujung malam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H