Baru-baru ini ada berita di Koran, dikatakan obat generic tidak laku. Istilah “tidak laku” sama sekali tidak tepat dan dapat menimbulkan pemahaman salah serta perumusan kebijakan tidak tepat. Faktanya adalah tidak ada yang mau menjual obat generic: apotik tdk mau menjual obat generic karena untungnya kecil; dokter tidak mau meresepkan kerna tidak dapet komisi.
Selama ini yang menyediakan obat generic adalah (1) puskesmas – karena umumnya pasien berobat for free; (2) RS pemerintah, terutama untuk pasien pemegang kartu miskin dan pasien kelas III yang minta diresepkan obat generic; dan (3) praktek mantri kesehatan swasta yang ada di kampung-kampung.
Klinik swasta yang ada di kampung menyediakan obat murah karena harus bersaing dengan puskesmas. Orang melarat yang tidak sanggup antri setengah hari untuk mendapat pelayanan kesehatan di puskesmas, datanglah mereka ke tempat praktek mantri. Dengan lembaran rupiah lusuh diberilah mereka obat generic. Ternyata terbukti banyak yang sembuh. Obat yang diberikannya biasanya standar, pereda sakit (asetaminofen / paracetamol), antibiotic (moxicilline) dan vitamin. Kalo ada tambahan keluhan, misalnya batuk, dikasihlah OBH. Kalo ada neg atawa bual, ditambah antasida.
Karena pake obat generic, pasien yang hampir mati bisa berobat ke mantri dengan biaya jigoh (dua puluh lima rebu). Kalo obat-obatnya diganti pake yang bermerek, biayanya bisa naik sepuluh kali lipat. Contoh: paracetamol (500mg tab) sekaleng @ 1000 tab harganya Rp40.000, silakankan bandingan sama Dumin buatan Actavis atawa Panadol buatan GSK. Amox generic harganya kurang dari 10% harga Amoxil (originator brand amoxicillin) atawa obat bermerek lain dgn API (active pharmaceutical ingredient) sama.
Kenapa perbedaannya begitu besar? Obat generic sangat murah sementara obat bermerek (branded), merek originator atau cuma obat copy sangat mahal. Ini disebabkan oleh informasi asimetris. Konsumen obat (dalam hal ini pasien) tdk punya kekuatan untuk memilih. Dokterlah -yang notabenenya merupakan pagian dari pemasok jasa kesehatan-- menentukan pilihan pasien. Jadi tidak ada consumer sovereignty. Akibatnya, tidak terjadi kompetisi harga antar produsen obat. Masing-masing produsen berkompetisi untuk “menanamkan” merek obat yang diproduksinya dalam benak dokter dan “mengarahkan” tangan dokter untuk meresepkan obat yang diproduksinya. Itu yang dinamakan sebagai biaya promosi termasuk promosi oleh detailer dan pemberian diskon kepada apotik dan toko obat. Karena tidak ada price competition, harga obat branded jadi mahal karena di dalamnya terdapat biaya promosi. Sementara itu obat generic bisa lebih murah kerna tdk perlu biaya “promosi”.
Menurut satu penelitian (WHO, 2004) harga obat di Indonesia termasuk mahal dan ketersediaan obat generic di instalasi kesehatan terlalu rendah. Kelihatannya yang diperbandingkan adalah harga obat bermerek. Berdasarkan penelitian itu, pemerintah mengambil kebijakan populis menetapkan harga obat pada tingkat yang sangat rendah. Sayangnya yang ditetapkan harganya adalah obat generic. Obat generic yang harganya sudah murah itu sejak 2006 harganya dipatok sangat rendah. Bahkan ada yang lebih rendah dari biaya produksi. Karena terlalu rendah, siapa yang sudi memproduksi jika harus merugi. Jadilan beberapa jenis obat generic “hilang dari pasaran”. Pasien yang biasanya bisa diberi amox generic, karena “tidak ada barang” ya harus rela beli obat bermerek dengan harga lebih mahal.
Begitulah cara menkes siti fadilah menyelesaikan persoalan, jauh panggang dari api. Yang mahal obat bermerek yang diturunin harga obat generic, kerna obat generic sebagian besar dibeli pemerentah untuk puskesmas dan RS pemerentah. Modelnya adalah pendekatan kesuasaan, maksa. Sejatinya persoalah harga obat bersifat sistemik yang hanya dapat diselesaikan dengan membangun kedaulatan konsumen. Posisi tawar produsen obat (termasuk obat branded) harus diimbangi oleh konsumen. Selama ini konsumen tdk punya posisi tawar.
Posisi tawar konsumen akan meningkat jika yang membiayai obat adalah “pihak ketiga” bukan pasien secara out of pocket. Pihak ketiga itu adalah perusahaan asuransi kesehatan yang “membeli obat dalam volume besar”. Pasien membayar premi kepada asuransi, kemudian asuransi yang membayar biaya kesehatan termasuk obat. Perusahaan asuransi dapat menentukan obat apa yang paling murah yang layak diberikan kepada pasien. Mekanisme ini harus diselenggarakan secara menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila system pembiayaan dengan pola ini dapat dilaksanakan persoalan harga obat dengan sendirinya selesai. Tidak adalagi pasien yang tambah parah sakitnya karena hanya dapat membeli obat “setengah dosis”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H