Apa yang anda lakukan saat marah atau kecewa, membanting pintu, menggebrak meja atau menendang menendang kursi? Ungkapan kemarahan seperti itu sering kita lihat di film atau sinetron. Jangan salah, kemarahan bisa pula diungkapkan dengan membuang puluhan kg gula ke jalanan. Itu yang dilakukan petani tebu pada pertengahan desember 2011. Mereka kecewa karena “gula rafinasi” ternyata dijual untuk konsumsi rumah tangga. Gula rafinasi secara politik-administratif hanya boleh digunakan untuk industri. Petani dan pabrik gula (PG) tebu menentang penjualan kepada konsumen rumah tangga karena akan menekan harga gula tebu produksi mereka.
Tata niaga gula memang merepotkan dan ada baik dijelaskan sedikit di sini. Tata niaga gula membedakan gula menjadi tiga macam yaitu gula mentah, gula rafinasi dan gula tebu. Ketiga jenis gula tersebut, kecuali gula mentah, secara fisik dan kegunakan sulit dibedakan. Namun kebijakan pemerintah memperlakukan ketiga jenis gula tersebut berbeda-beda. Gula mentah dan gula rafinasi hanya boleh diimpor oleh importir produsen (IP) yaitu perusahaan importir gula untuk kebutuhan industrinya sendiri. Gula mentah diimpor (oleh PG rafinasi) untuk diolah menjadi gula rafinasi yang kemudian hanya boleh dijual ke konsumen industri misalnya industri makanan dan minuman. Sedangkan gula rafinasi impor hanya boleh dilakukan oleh importirnya sendiri dan tidak boleh diperjual-belikan. Misalnya, produsen tehbotol atau coca cola boleh mengimpor gula rafinasi tapi tidak boleh dijual ke pihak lain.
Gula rafinasi, baik yang berasal dari impor maupun yang diproduksi di sini dengan bahan baku gula mentah impor secara fisik sulit dibedakan dengan gula yang diproduksi dari tebu (GKP – gula kristal putih) di dalam negeri. Bahkan adakalanya, pabrik gula yang biasa mengolah tebu petani dapat pula mengolah gula mentah impor menjadi gula rafinasi yang sama persis dengan gula tebu. Oleh karena “sekat” pasar gula sering bobol. Gula rafinasi yang seharusnya hanya boleh untuk industri dijual ke pasar untuk kebutuhan rumah tangga. Sebaliknya, gula putih tebu dapat pula digunakan untuk industri.
Tujuan tata niaga gula tentu saja untuk melindungi petani tebu dan pabrik gula domestik dari persaingan dengan gula impor. Karena itu industri tidak dilarang membeli gula tebu. Namun konsumen rumah tangga hanya boleh membeli gula tebu. Karena itu petani tebu memprotes penjualan gula yang bukan produksi mereka kepada konsumen rumah tangga. Masalahnya, karena gula tebu dan gula rafinasi secara secara fisik sulit dibedakan, gula rafinasi acap masuk ke keranjang belanja ibu-ibu rumah tangga.
Tantangan utama segmentasi pasar gula adalah perbedaan harga antara gula impor dengan gula lokal. Ketika harga gula di pasar dunia tinggi banyak industri yang memakai gula tebu. Masalahnya gula tebu kita diproduksi dengan tidak efisien sehingga hampir selalu kalah bersaing dengan gula impor. Selain mahal, produksi domestik jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Hingga saat ini belum ada data akurat mengenai berapa sebenarnya kebutuhan gula domestik, terutama kebutuhan untuk rumah tangga. Keputusan impor gula untuk kebutuhan rumah tangga biasanya ditentukan berdasarkan volume stok di dalam negeri. Masalahnya siapa bisa menjamin perkiraan stok secara tepat, terutama stok di gudang pedagang.
Dalam konteks tata niaga gula protes petani dapat dimengerti. Harga gula di pasar domestikmemang naik pesat dengan kenaikan lebih tinggi dari kenaikan harga di pasar global. Namun impor gula tahun ini (2011) naik pesat. Selama periode januari – september saja sudah mencapai 1.9 juta ton, lebih tinggi dari impor setahu 2010 (1.8 juta ton). Impor tahun ini diperkirakan bisa mencapai 2.5 juta ton (gula mentah dan gula rafinasi untuk industri dan untuk rumah tangga).
Volume impor tahun ini dapat dikatakan menyimpang dari pola selama ini. Dengan impor sebesar itu, total pasokan gula (net impor plus produksi domestik) sebesar 4.83 juta ton (20.1 kg per capita). Rata-rata pasokan gula per kapita selama 2000-2011 hanya 16.7 kg setahun. Namun pasokan gula per kapita tahun ini masih di bawah 2007, 23.8 kg. Pasokan gula per kapita memang berfluktuasi dari tahun ke tahun dan fluktuasi tersebut sangat ditentukan oleh volume impor.
Adakah peningkatan impor tersebut telah menekan harga gula tebu produksi domestik? Harga gula per kg di pasar domestik turun dari Rp11.158 pada desember 2010 menjadi Rp10.500 pada september 2011. Penurunan harga gula di tingkat eceran mencerminkan penurunan harga lelang gula milik petani. Penurunan tersebut juga mencerminkan kenaikan pasokan gula padahal produksi gula 2011 hanya 2.31 juta ton, jauh di bawah target 2.7 juta ton.
Segementasi pasar gula nampaknya sulit diawasi. Kebijakan tata niaga tidak mengatur importasi gula mentah oleh PG rafinasi sehingga volume impor bisa melebihi kebutuhan gula rafinasi oleh industri. Tata niaga gula lebih banyak menguntungkan industri dan pedagang gula dari pada melindungi petani tebu. Sementara itu proteksi terhadap industri gula atas biaya konsumen berupa harga lebih lebih tinggi. Sudah saatnya kebijakan tersebut ditinjau kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H