Mohon tunggu...
Bang Ipul
Bang Ipul Mohon Tunggu... -

keep woles

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu Ulang, Biasa Saja

18 Agustus 2014   17:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:14 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masyarakat sekarang ditakut-takuti bahwa Pemilihan Suara Ulang (PSU) itu sebagai sesuatu yang mubazir. Selain pemborosan disegi biaya dan waktu, Pemilu (Pilpres) ulang juga berpotensi menciptakan gangguan keamanan.Lagian rakyat sudah capek kampanye setiap hari, dari mulai Pilkada, Pileg hingga Pilpres. Terus kapan mau membangunnya? Intinya tidak usah ada pemilu ulang, karena mubazir. Lebih parah lagi, ada pernyataan yang mengatakan, siapa bisa menjamin pemilu ulang akan berlangsung jujur? Jadi terima saja hasil pemilu apa adanya. Bahkan digadang-gadang bahwa Pemilu ulang adalah aib besar!

Salah satu iklan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bilang, Kalau Bersih Kenapa Risih? Ya kalau Pemilu Pilpres ini ada kecurangan yang memenuhi unsur Terstruktur, Sistemik dan Masif, mengapa harus risih. Justru bagi kedua pihak akan sangat melegakan. Bagi pemenang, legitimasi semakin kuat dan bagi yang kalah akan legowo.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, Pemilihan Umum Presiden(Pilpres) 2014 adalah momentum penting dalam sejarah di Indonesia untuk pematangan demokrasi. “Akan lebih baik jika amar putusan MK bisa memenuhi rasa keadilan misalnya Pemungutan Suara Ulang (PSU) atau putusan lain yang tidak normatif,” kata Pangi, Jumat (15/8/2014).

Lompatan keputusan ini menurut Pangi diharapkan bisa membuat agar kontestan lain tidak bersikap sewenang-wenang atau melakukan pelanggaran. Pangi mengambil contoh kasus di Papua.

“Ini pendidikan politik dan hukum yang baik. Jika tak ada sanksi dan efek jera bagi pelanggar pemilu yang lakukan kecurangan, maka ujungnya bisa membuat orang melanggar dan terulang lagi di Pilpres 2019,“ ujar Pangi.

Jika ini terjadi, menurutnya, tidak ada pembelajaranbagi perbaikan sistem pemilu. “Sebentar-sebentar ke MK, sebentar-sebentar ke MK jika ada pelanggaran,” pungkasnya.

Mengapa PSU dianggap heboh? Sebagaimana rangkaian pemilu, PSU adalah sarana yang juga bisa dilakukan. Anggapan bahwa aka nada pihak yang tidak puas, justru logikanya terbalik. Karena PSU adalah juga konstitusional, dan untuk memenuhi unsur legitimasi Presiden terpilih. Mengapa PSU dipandang aneh dan menyeramkan. Apalagi harus menyalahkan rakyat, karena rakyat bisa rusuh. Terjadi chaos atau bakar-bakaran. Bukankah kita sudah melewati rangkaian Pileg dan Pilpres dengan damai? Alhamdulillah yang ditakutkan itu tidak terjadi. Padahal rakyat tidak akan ngamuk kalau tidak ada provokator.

Potensi kecurangan itu seperti diungkap Saksi ahli yang dihadirkan tim Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Mahkamah Konstitusi (MK), Dwi Martono Ariyanto, menurutnya KPU tidak mampu menyelenggarakan pemilihan presiden. Menurut dia, KPU tidak menyampaikan informasi secara tertib. Selain itu, KPU juga dinilai tidak menjaga otoritas kelembagaan di antara lembaga negara lainnya, yang diatur konstitusi. "Terakhir KPU telah mencederai hak politik masyarakat," kata Dwi ketika memberikan keterangan di Ruang Rapat Pleno MK, Jumat, 15 Agustus 2014.

Menurut Dwi, empat hal itu membuka peluang kecurangan pemilu yang terstruktur, masif, dan sistematis. Padahal, KPU harusnya mampu menjadi benteng demokrasi, yang terus-menerus mengantisipasi peluang kecurangan. "Caranya adalah kerja terstruktur dan terintegrasi," kata mantan anggota KPUD Batu, Jawa Timur, ini kepada Tempo.Co.

Dwi mempersoalkan KPU, yang menurut dia, tidak membuat formulir desa. KPU juga disebutnya tidak mengatur secara jelas metodologi survei dan, terutama exit poll, yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Menurut dia, ada potensi data exit poll, yang dipublikasikan setelah pemungutan suara dipengaruhi oleh pemilih dari daftar pemilih khusus tambahan.

"Ini membuka celah peserta pemilu yang mengira dirinya akan kalah untuk bekerja sama dengan lembaga survei tertentu dengan cara mengerahkan pemilih ke TPS di mana mereka kalah," kata Dwi.

Penyelenggara exit poll--yakni menanyai pemilih yang keluar dari tempat pemungutan suara--sebenarnya memilih respondennya secara acak. Dwi tidak menjelaskan bagaimana peserta pemilihan bisa "bekerja sama" dengan lembaga survei untuk memilih respondennya.

Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Chusnul Mariyah mengatakan, KPU bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam proses Pilpres. Bahkan jika terindikasi ada kecurangan, KPU bisa mengulang proses pemungutan suara. "Pemilu ulang itu biasa," tandasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun