Pembaca yang saya hormati...
Menyikapi suasana Pilpres yang menghangat akhir-akhir ini, tampaknya tokoh pewayangan juga menjadi alat Politik guna mendulang suara.Klaim bahwa pihak tertentu adalah adalah Pandawa dan secara tersirat menyatakan bahwa pihak yang lain adalah Kurawa adalah contoh nyata yang akhir-akhir ini muncul ke permukaan. Saya bukanlah seorang fanatik terhadap Capres tertentu, tp melalui artikel ini saya yang orang Jawa dan menyukai Pewayangan mencoba mengajak pembaca Kompasiana untuk menafsirkan sendiri kira-kira Capres mana yang layak untuk disebut sebagai Pandawa atau setidaknya mendekati personifikasi Pandawa dalam kisah pewayangan...atau malah tidak ada sama sekali yang mendekati personifikasi Pandawa itu sendiri.
Sebelum mengulas tentang Pandawa, akan sedikit saya ulas tentang sejarah wayang. Dalam sejarahnya, wayang di negeri asalnya (India) tersurat di dalam Kitab, baik cerita Ramayana maupun Mahabharata. Jadi wayang bukan hanya sekedar kumpulan cerita rakyat biasa maupun mitos atau legenda. Makna kata kitab disini adalah merujuk kepada jenis tulisan kuno yang mempunyai implikasi hukum, atau dengan kata lain merupakan undang-undang yang mengatur. Istilah kitab biasanya digunakan untuk menyebut karya sastra para pujangga pada masa lampau yang dapat dijadikan sebagai bukti sejarah untuk mengungkapkan suatu peristiwa masa lampau (sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Buku). Jadi cerita pewayangan sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, atau boleh dibilang "terhormat" karena memuat ajaran-ajaran tertentu, terutama ajaran tentang kehidupan.
Di tanah Jawa, cerita pewayangan sudah berkembang sejak jaman kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu. Pada masa perkembangan kerajaan Islam, wayang digunakan sebagai salah satu sarana dakwah oleh Wali Songo guna menyelaraskan dengan budaya masyarakat yang berlaku pada saat itu. Beberapa alur cerita pewayangan diselaraskan dengan konsep ajaran-ajaran Islam atau istilah modern-nya dilakukan modifikasi, sehingga dalam kisah Pewayangan di tanah Jawa muncul istilah "sanggit" sebagai wujud kreatifitas dalang dalam membawakan cerita dan cerita-cerita "carangan" yang sedikit keluar dari pakem aslinya tanpa merubah alur cerita wayang secara keseluruhan.
Lalu...apa hubungannya uraian di atas dengan kisah Pandawa...???
Dalam kisah pewayangan, Pandawa merupakan 5 orang Ksatria anak keturunan dari Prabu Pandu Dewanata yang bertahta di kerajaan Astinapura / Hastinapura. Pandawa terdiri dari Yudhistira atau Puntadewa, Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janoko (merupakan Putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunthi) dan si kembar Nakula - Sadewa (merupakan putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim). Sosok Pandawa merupakan personifikasi dari kebajikan yang ada di dunia yang senantiasa mendapat ujian dari kejahatan dan angkara murka yang di personifikasikan pada pihak Kurawa yang tak lain adalah saudara sepupu dari Pandawa sendiri. Puncak perjuangannya adalah kemenangan Pandawa dalam perang Bharatayuda sebagai simbol kemenangan dari kebajikan terhadap angkara murka.
Ada satu catatan menarik di sebuah blog yang saya baca (lihat :Â http://slameti.blogspot.com/2011/11/pandawa-lima-gambaran-rukun-islam-by.html). Di dalam blog ini dituliskan beberapa penafsiran tokoh Pandawa dilihat dari terminologi Islam. Bukan bermaksud untuk menonjolkan salah satu agama, tapi disini saya mencoba untuk ikut menilai dari sudut pandang saya pribadi sebagai seorang Penggemar Wayang yang berkaitan juga dengan keyakinan yang saya anut. Di dalam blog tersebut disampaikan bahwa sosok 5 orang Ksatria Pandawa merupakan penggambaran dari Rukun Islam yang jumlahnya 5. Berikut saya sadur terminologi yang didapatkan dari catatan di dalam blog tersebut dengan penambahan-penambahan seperlunya :
- Yudhistira atau di tanah Jawa dikenal dengan nama Puntadewa atau Dharmakusuma adalah putra tertua Pandawa. Sebagai seorang yang sebenarnya berhak menjadi pewaris tahta Astinapura, Puntadewa memilih untuk mengalah dan menyerahkan tahta Astinapura pada Duryudana dari pihak Kurawa, dan kemudian bertahta di kerajaan Amarta. Puntadewa sosok ksatria jujur berdarah putih dan tampil sangat sederhana tanpa perhiasan. Pada "ukel" rambutnya (gelung rambut sederhana sebagai mahkotanya) tersimpan sebuah pusaka berwujud kertas putih bernama Jamus Kalimasada (hanya ada di cerita wayang versi Jawa) hingga membuat Puntadewa tidak dapat dikalahkan siapapun. Kalimasada sendiri berasal dari kata serapan dalam bahasa Arab : kalam syahadatain, yang berarti kalimat syahadat. Dari sini dapat digambarkan bahwa pegangan mendasar bagi seorang Muslim adalah keteguhan dalam memaknai 2 kalimat syahadat, dan menjadikannya pegangan seumur hidup dengan menjalankan syariatnya, sehingga menimbulkan kekuatan batin guna menangkal sifat angkara murka.
- Bima atau dikenal sebagai Werkudara adalah putra kedua Pandawa yang dipersonifikasikan dalam wujud Ksatria yang gagah perkasa, garang akan tetapi selalu menunduk seperti orang yang sedang melaksanakan Sholat. Bima adalah kesatriya pandawa yang paling berani dan gagah perkasa dengan aji kesaktiannya yang terdapat di genggamannya yaitu, Kuku Pancanaka yang berarti Lima kekuatan yang selalu dipegangnya dengan kuat. Ini merupakan symbol atau lambang bahwa apabila Sholat lima waktu dilaksanakan dengan baik penuh keyakinan dan ketekunan yang mendalam akan memiliki kekuatan yang besar yang mampu mengalahkan segala tantangan baik secara badaniah maupun rohaniah.
- Arjuna atau dikenal juga sebagai Janaka merupakan putra ketiga Pandawa. Digambarkan sebagai seorang Ksatria yang sangat tampan, tidak grusa-grusu, berbudi pekerti halus dan lembut (hingga sering digambarkan seperti seorang perempuan), akan tetapi Arjuna sangat sakti mandraguna dan mempunyai keterampilan olah senjata terutama panah yang tak tertandingi. Hal ini sesuai dengan kegemaran Arjuna dalam melakukan "Laku Prihatin" dengan bertapa brata bermunajad kepada Sang Pencipta. Makna yang dapat diambil adalah gambaran orang yang rajin berpuasa (bertapa) akan memiliki jiwa yang kuat dan tenang  dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.
- Si Kembar Nakula dan Sadewa. Dalam cerita wayang, tidak begitu banyak cerita yang mengulas kehidupan pribadi si kembar. Namun disini digambarkan bahwa Nakula dan Sadewa merupakan sosok yang penuh kesetiaan terhadap saudara-saudaranya (walau beda Ibu). Digambarkan bahwa keduanya adalah sosok yang penampilannya perlente, rapih dan berpakaian bagus dan bersifat dermawan. Ini menggambarkan seperti orang yang mengeluarkan Zakat dan pergi Haji.  Mereka orang-orang yang berzakat dan berhaji adalah orang-orang yang telah "mampu" dan "kaya" baik hartanya maupun jiwa batiniahnya.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mempersonifikasikan diri sebagai sosok Pandawa ternyata tidaklah semudah mengucapkan. Perlu juga diikuti oleh kemampuan diri untuk menjadi sosok yang benar-benar "Pandawa" sebagaimana ulasan di atas. Pandawa sebagaimana kisah wayang tidak hanya sekedar dongeng penghantar tidur, namun lebih merupakan sebuah ajaran kehidupan yang syarat akan nilai-nilai keutamaan. Dan semuanya tergantung pada diri kita bagaimana kemampuan untuk menyerap pesan yang terkandung di dalamnya. Kaitannya dengan ajaran Islam, untuk menjadi "Pandawa", seseorang harus benar-benar mampu menjalankan syariat Allah SWT yang disampaikan melalui Rasullulah Muhammad SAW. Â Seminimal mungkin adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk menjalankan Rukun Islam dengan ikhlas, bersungguh-sungguh, dan penuh akan kesadaran dalam melaksanakannya, sebagaimana tersirat dalam penokohan Pandawa tersebut di atas.
Menilik dari dua pasang Capres dan Cawapres yang kesemuanya beragama Islam, kita dapat menilai kira-kira mana yang lebih layak untuk mempersonifikasikan penokohan Pandawa tersebut, mana yang tidak layak, dan/atau malah dua-duanya tidak ada yang layak. Semua tergantung bagaimana kita memberikan penilaian dengan hati yang jernih, tanpa diliputi rasa benci, tanpa diliputi rasa dengki. Negara ini butuh pemimpin yang berkualitas yang didukung oleh sosok-sosok yang berintegritas. Marilah kita memilih dengan cerdas berdasar pada kualitas.
Kebenaran datangnya dari Allah SWT semata, karena kesempurnaan hanyalah menjadi milik-Nya...kekurangan dan kesalahan datangnya dari kita sebagai umat-Nya, karena sebagai manusia kita tidak luput dari khilaf dan dosa. Wallahu A'lam Bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H