Saat terbesit kedua kata yang memiliki kontradiktif dalam kehidupan. Tentunya akan muncul pertanyaan Manakah yang lebih utama antara Idealisme dan Rasionalisme?. Perdebatan ini tentunya banyak memunculkan opini bagi kehidupan. Salah satu contohnya adalah dunia pendidikan.
Pendidikan harusnya menjadi fondasi utama bagi manusia. Untuk mencapai hal ini, pemerintah melakukan beberapa perkembangan untuk meningkatkan esensi pendidikan. Beberapa cara dilakukan termasuk perubahan kurikulum dengan mengedepankan asas "Merdeka Belajar" dengan memfasilitasi kebutuhan siswa agar pembelajaran dapat berpihak pada siswa.
Mewujudkan hal itu dibutuhkan hubungan yang saling berkesinambungan antara pemangku kebijakan dengan masyarakat sekolah. Senada dengan hal tersebut, dalam pertemuan di Aula R.A. Kartini, Taufik Hidayat, S.Pd., M.Pd yang menjabat KaBid SD mengatakan "Apakah Implementasi pendidikan karakter sudah disesuaikan dengan kesiapan masyarakat sekolah?" Hal ini tentunya harus dilakukan refleksi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.Â
Salah satu indikator yang diambil adalah beberapa siswa yang melas didepan pagar sekolah saat telat mengikuti upacara yang diadakan pada jam 06.30. Sontak saja ini menjadi pukulan keras bagi para pemangku kebijakan pada masing-masing instansi yang begitu idealis membuka jam efektif sebelum jam 07.00.Â
Fakta yang terjadi di lapangan adalah, mereka berasumsi bahwa kebijakan yang dilaksanakan telah mendapat persetujuan dari masyarakat sekolah.
Melalui fakta tersebut mari kita kaji lebih dalam sebagai bahan refleksi, apakah benar kesalahan yang dilakukan siswa saat terlambat mengikuti upacara diluar jam ketentuan efektif secara umum.Â
Bagaimana dengan pendidikan karakter yang saat ini digemakan? Implementasi pelajar pancasila dengan menanamkan karakter nilai dari sila dalam Pancasila, bagaimana dengan implementasi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmatÂ
Oleh: F.Al Junairi, S.Pd
Guru SD
"Jadilah Pendidik yang dapat benar-benar mampu memfasilitasi kebutuhan peserta didik agar pendidikan berpihak pada peserta didik"
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Bukankah pemimpin harus bijaksana? Apakah sebelum kita menutup rapat-rapat gerbang sekolah, sudah menanyakan alasan keterlambatan mereka? Bagaimana kalau mereka adalah para subjek "Asas Praduga Tak-Bersalah". Bagaimana jika sebenarnya mereka bukan pelaku tapi korban dari kelalaian orang tua?. Jika demikian apakah sudah cukup dengan pemanggilan orang tua karena catatan merah pada buku kasus? Bagaimana dengan mental mereka yang bisa saja seumur hidup membenci orang tuanya karena telah membuat para siswa terhakimi?Â