Mohon tunggu...
Wildan Imaduddin Muhammad
Wildan Imaduddin Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Poros NU-Muhammadiyah

20 Mei 2014   05:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Akhirnya, deklarasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden telah fix dan telah didaftarkan ke KPU pusat. Jokowi-JK, dan Prabowo-Hatta. Memang, kedua pasangan memiliki elektabilitas yang patut diperhitungkan. Jokowi yang nyantai dengan Jusuf Kalla yang berwibawa. Prabowo yang tegas dengan Hatta yang kharismatik. Sungguh dua pasang Capres dan Cawapres yang ideal, tergantung orang yang menganggap mereka ideal.    Menurut Analisa sederhana saya, dengan melihat fakta empiris di lapangan. Setidaknya suara umat muslim akan terpecah menjadi dua. Kubu NU dan kubu Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan memang ada partai islam yang berkoalisi dengan partai pemenang pemilu legislatif yakni PDI-P dan Gerindra. Partai yang saya maksudkan adalah partai kepanjangan dari dua ormas islam terbesar itu. Diakui atau tidak, memang faktanya PKB adalah kepanjangan partai dari orang-orang NU dan PAN juga merupakan kepanjangan partai daro orang-orang yang berbasis di Muhammadiyah. Meskipun dua organisasi itu cukup keras menolak baik NU maupun Muhammadiyah lepas tangan dari partai politik.    Dua Cawapres terdaftar, JK dan Hatta adalah kader dari dua poros yang berbeda. JK berasal dari NU, dan Hatta menupakan tokoh Muhammadiyah. Secara tidak langsung, orang-orang NU akan memilih pasangan Jokowi-JK, sedangkan orang-orang Muhammadiyah lebih cenderung untuk memilih Prabowo-Hatta. Hemat saya seperti itu. Ditambah lagi, diskusi-diskusi yang saya perhatikan di wilayah kampus memang begitu adanya. kader muda Muhammadiyah lebih suka menjelek-jelekkan Jokowi, yang katanya dibesarkan oleh media, dalam diskusi mereka. Begitu pun mahasiswa pesantren tulen yang basisnya Nu, lebih sering berbicara tentang kehebatan-kehebatan Jokowi dengan ramalan-ramalan akan sosok pemimpin masa depan.   Akhirnya, saya kira akan lebih arif jika perdebatan-perdebatan mengenai dua poros ini tidak dengan apatisme yang berlebihan. Pun demikian tidak pula dengan cara apresiasi yang berlebihan. Santai dan tenang. Husnudzan lebih baik. Karena prasangka buruk hanya akan membawa keburukan. Juga demikian dengan pujian yang berlebihan, tidak akan membawa faedah. Awasi kinerja mereka, tonton dan nilai dengan perasaan yang lapang tanpa prasangka-prasangka. Dan Pilihlah sesuai dengan hati yang bersih. Untuk Indonesia yang lebih baik.   Kita sudah terlalu banyak ketinggalan. Sudah tak usah banyak ribut-ribut. Mari bersatu padu untuk membangun Indonesia dan mengejar ketertinggalan. Sudahi pertengkaran. Mulai dengan tersenyum kepada semua orang. Siapa pun pemimpin kita nanti. Mari kita dukung dan monitor. Agar tidak kecolongan lagi dengan pencitraan omong kosong. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun