Bulan kusam makin meredup, nyaris punah ditelan pagi sumir. Saya belum kelar membaca kompasiana dengan cemmacem tulisan, sang superblog beyond yang menelan habis malam saya, hingga tanpa terasa oksigen pagi datang permisi.
Saya tak lelap lagi, menggeser daun jendela menembus rabun mentari. Hanya hari yang lain, it's just another day!
Saya lihat waktu dan menatap seberang, sebentar pula parasnya sudah tiba di pigura jendela, dengan rambut basahnya.Â
Dia menghapuskannya dengan towel sampai perciknya beterbangan. Dari bayang cermin dia berdandan fashion kantor, tubuhnya melandai di sofa, mengangkat betis indahnya dan menyusupkan sepasang kaki jenjang ke dalam kaus stoking. Berakhir dengan menelusupkan kedua kakinya ke highheel hitamnya.
Beriring mentari, perempuan chic itu bangkit meggapai mantel, lalu melangkah membuka pintu dengan tangan di dalam pocket raincoatnya.
Perempuan elegan itu berjingkat cepat menuruni tangga apartemen dan membaur di pedestrian yang menurun ke dalam subway, lalu hilang dari pandangan saya.
Saya masih memana dan menutup kompasiana nan membahana, menuliskan kata satu hari lagi. Hari yang lain.
Pukul 12 tengah matahari saya menurun ke down town mencari inspirasi, duduk ditepi square dengan kolam, memandang ke jendela bangunan atas.
Dari situ saya melihat perempuan apartemen di jendela office, seperti dari balik pigura besar, blazernya putih seperti bunga membungkus kedua lengannyayang menari di keyboard laptop.Â
Tumpukan kertas di sisinya seperti tumbuh menghalang separuh parasnya. Dia bangkit mengulet dan mengambil break, berjalan merambah kopi, mereguknya lumat seperti betapa tak tertahannya kantuk.
Saya memperhatikannya, di hari yang lain ini. Semoga saja.