Hari belum biru, tapi Gui sudah memacu.
Mobil jipnya yang keras menggelinding di buta pagi menuju pabrik.
Garis rintik membasahi kaca mobilnya sepanjang jalan liat tanah. Vehiclenya berguncang-guncang, menapak landas yang berbenjolan.
Gui cuma mau sesegera mungkin tiba, sehabis menerima panggilan emergensi dari kepala mekanik. Ada turbin yang rewel, yang sudah hampir tiga pekan meresahkannya. Ada yang enggak beres di turbin uap berwatt besar ini, Â dan Gui mesti membereskannya sesegera mungkin.
Tiba di paving pabrik, Gui meraih helmetnya, dia lari menembus uap. Menaiki tangga diikuti manajer dan operator menuju lantai dua.
Di dalam ruang turbin yang memekak, Gui tak melihat progres, hampir semua lampu merah control panel turbin menyala.
Semua titik tidak bekerja, Pak! Jelas kepala mekanik. Gui, menekan tombol-tombol panel tanpa reaksi.Putaran turbin lemah dan semprotan uap tinggi ngempos. Turbin besar itu malah surging.
Shut down! Tegas Gui, jempolnya menunjuk ke bawah.
Tapi pak! Nanti kita perlu waktu panjang lagi untuk heating up! Sergah manajer maintenance.
Kita masih punya waktu. Dinginkan saja dulu, lusa kita start up kembali! Perintah Gui. Semua kru berpandangan mengikuti keputusan Gui.
Gui kembali turun menuju ruangnya. Parasnya redup, sejatinya dia tidak begitu yakin turbin utama ini bakal sembuh normal. Dadanya gundah, turbin besar ini adalah jantung seluruh pabrik sebagai sumber catu daya.
Entah darimana Gui mengambil keputusan penuh resiko ini, hanya tiba-tiba saja ada dorongan kuat di hatinya, bahwa alat putar besar itu harus dihentikan sementara.