Senja mengembang di Oktober yang luruh.Â
Satu perempuan sedari kemarin duduk di taman kota. Saya mendekati dan duduk di sebelahnya. Dia tak terusik dengan kehadiran saya.
Maaf! Saya membuka suara.
Dia sekejap menerpa tapi kembali membuang matanya ke rerumputan.
Saya kerap di sini! Kata saya.
Gadis itu menoleh dan meneliti wajah saya dari matanya.
Seberapa sering? Tanyanya.
Sesering mungkin! Jawab saya.
Buat apa?
Saya menulis!
Menulis?
Ya! Saya menulis puisi! Jelas saya.
Puisi apa?
Puisi tentang sore yang turun!
Mata perempuan itu lurus menatap saya, alisnya terangkat seakan dia melihat satu mahluk langka yang masih tertinggal di bumi yang masih menulis puisi. Â
Tapi kembali dia merunduk menekuni tanah.