Saya menelusuri jalan dingin itu, entah ke berapa kali. Itu dimulai sejak mentari condong ke sebelah barat sehingga cahaya langit jatuh dengan kemiringan tertentu.Â
Tapi kota ini memang dilahirkan dengan udara yang dingin, seberapa lebar mataharinya menebar, jalan-jalan kota tetap saja tertinggal dingin.
Ketika saya merasa lelah, saya rehat di sebuah kafe di sisi pedestrian beralas batu.
Memesan segelas soda dan leyeh-leyeh, menatap orang-orang berlalu-lalang. Â Lama-lama, saya pikir mereka berlaku seperti saya. Berjalan mundar-mandir mencari sesuatu.
Akhirnya juga, beberapa mereka pun liren dan mengambil kursi di kafe saya duduk. Seorang perempuan masuk, lalu mengambil duduk bersampingan dengan saya. Perempuan itu berparas cantik.
Dia mereguk minum dingin, mata beloknya menatapi jalanan, persis seperti yang sedang saya lakukan.
Maaf. Bolehkah saya tahu, apa gerangan yang anda cari? Tanya saya berbasa-basi. Dia menoleh.
Aku sedang mencari teman! Jawabnya.
Ah. Anda belum menemukannya? Tanya saya. Wanita jelita itu menggeleng.
Belum!
Maaf. Berapa lama anda telah mencarinya? Saya bertanya kepoh. Dia memandang saya sebentar.
Aku mencarinya sejak pagi hari! Jawabnya. Saya mengangguk-angguk. Dia masih menatap saya.
Apa yang anda kerjakan? Â Perempuan itu balas bertanya. Saya tersenyum samar.
Sama seperti anda! Kata saya.