Lima belas tahun silam saya berdiri di Balapan,
menjadi sejuta kenangan ku bawa pergi,
seperti lagu Mat Peci yang menyayat hati
Kala itu saya berdiri di tengah stasiun Solo yang resah. Orang-orang bepergian, orang-orang berjualan, orang-orang berdatangan, mereka besilangan, keluar-masuk ruang stasiun kereta yang gerah, kumuh dan semrawut.
Sekarang saya berdiri lagi di tengah Solo-Balapan yang klasik, orang-orang berwajah terang, ada yang duduk manis menunggu, ada yang berbaris di boarding tapped, ada yang mengisi nominal di mesin kartu, ada yang bertanya petugas, ada yang pergi, ada yang datang, semua pada jalurnya.
Tanpa disadari orang-orang berada di suatu tempat yang gampang, tersekuens cepat, aman dan nyaman.
Tidak terlihat sampah di lantai, bahkan debu pun enggan, bersih, beberapa fasilitas berkilat, tidak ada orang mengasong, mengamen dan menawarkan tiket di tangan.
Saya melirik arloji di pergelangan, hanyut terhalusinasi bahwa saya telah melompat menjadi seorang time traveler.
Abrakadabra! Sekarang anda berada di sistem perjalanan KAI Commuter Solo-Jogja!
Masih menggenggam kartu komuter, one name one ticket, saya mengamati rel besi yang lurus dan menghilang di jarak menuju Jogja.
Jogja memang kota pulang, tempat yang terlalu banyak berisi rindu, sedang Solo itu kota tempat berakhirnya rindu.
Di silam saya, perjalanan Solo-Jogja selalu menjadi jalan waktu dan perjuangan untuk mengambil kenangan, begitu berjarak, dan melelahkan, sehingga rindu serasa terpisah, satu rindu di Solo, satunya lagi di Jogja.
Namun kini, semenjak KAI Commuter membelah dua tahun silam, Solo-Jogja menjadi sederhana,  saya hanya seperti melangkah sepelemparan lengan, berjalan menaiki elevator, tapped dan sudah tiba di atmosfer stasiun Commuter yang bersahabat, rasanya selalu, seperti ketemu kawan lama.
Melangkah naik melewati pintu matik kereta yang bersih, terang dan sejuk menjadi tidak persoalan lagi, apakah saya kebagian duduk atau berdiri, kerna waktu Solo-Jogja yang ditempuh satu jam tidak terasa dan tidak membelenggu.
Hingga akhirnya saya tidak bisa lagi membedakan soal kerinduan antara kota Solo dan Jogja, saya hanya merasakan rindu ada di sepanjang perjalanan rel listrik yang sejuk dengan panorama indah, dan detik-detik pemberhentian stasiun-stasiun ramah.Â
Saya menemukan rindu yang menyatu ketika berada di dalam kereta KAI Commuter.
Naik Commuter ini bukan saja sekedar perjalanan menunggu waktu yang jengah, kereta rel listrik ini menjadi sebuah jalan cerita ulang-alik, Solo-Jogja, yang selalu baru dan mempesona.
Langkah kereta di saban stasiun seperti alunan mile stones, satu lintas batas propinsi yang tak terasa batasnya, KAI Commuter telah menyatukan keakraban central of Java yang membelah di tiga batas, yaitu Surakarta, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, dengan bertempo hanya satu jam.
Jika berawal dari kota Surakarta, rute akan dimulai dari stasiun paling timur Solo, yaitu Stasiun Palur, selanjutnya Solo Jebres, Solo Balapan, Purwosari, Gawok, Delanggu, Ceper, Klaten, Brambanan, Meguwo, Lempuyangan, dan berakhir di stasiun istimewa, stasiun Tugu Yogyakarta. Â Â
Pada setiap perhentian stasiun, saya selalu dibawa ke kota dengan signature yang khas. Jadi, rute pilihan KAI Commuter menjadi step suatu time travel dengan cerita dan sejarah dengan ruang dan kurun waktu berbeda.
Saya bisa sesuka hati untuk door stop di stasiun manapun tanpa was-was kehilangan arah atau kehilangan jadual commuter yang setiap jam berangkat atau setiap setengah jam dalam dua jalur ulang-aliknyaÂ
Papan petunjuk yang jelas dan fasilitas yang sama, serta petugas yang merata kapabilitasnya, membuat saya enteng.
Ah! Saya bisa mengunjungi Candi Prambanan dari kota Solo, dengan berhenti di stasiun Brambanan yang hanya berjarak 700 meter dari Candi Prambanan yang dapat ditempuh selama 7 menit jalan kaki.Â
Atau cuci mata di Pakuwon Mall Yogyakarta, saya bisa berhenti di stasiun Maguwo yang terintegrasi dengan Bus Trans Jojga, yang siap mengarungi keliling area Yogyakarta dengan sekali saja tarif trip yang murah.
Atau terakhir menjemput kenangan di Malioboro di pemberhentian akhir stasiun Tugu Yogyakarta untuk menelusuri jalan Malioboro yang tak pernah lekang.
Kita tahu, kereta memang begitu banyak, begitu beraneka ragam, tapi kereta KAI Commuter menempatkan kita pada ruang mungil yang lega, memberikan ruang berkereta yang berbeda dari kereta yang selama ini kita kenal.Â
Saya hanya cukup melangkah dari boarding concrete ke lantai kereta, untuk lalu menemukan ruang besar dengan kursi beledru di sepanjang sisinya.
Sebuah commuter yang menghantarkan kita, bukan saja semata mengantar pada satu tujuan yang dikehendaki, tetapi juga memberikan rasa perjalanan yang ternikmati, bagai menikmati ulangan film yang tidak pernah membosankan.
KAI Commuter di desain tidak semata mengikuti alur rel yang ada, tetapi dia mencipta perjalanannya sendiri yang sangat berbeda. Kadang saya bisa memperlakukan perjalanan KAI Commuter sebagai alur kesibukan kerja, namun sensasi keindahan perjalanannya tetap tidak pernah memudar dan membuat saya merasa lebih dari sekedar perjalanan semata.
Dan itu mudah saja, saya cuma memegang kartu komuter, tap-in dan menikmatinya, lalu tap-out saat meninggalkan kenangannya. Tidak ada beban, begitu ringan melepaskan suatu perjalanan yang sering membayang untuk segera mengulang.
Duduk saja dan anda akan mendengar informasi perjalanan di sejuk ruang KAI Commuter, seperti mendengarkan cerita dari satu stasiun pemberhentian ke satu stasiun pemberhentian berikutnya.
Dan tiba-tiba anda sudah ada di pedestrian Malioboro, ketika anda sadari bahwa KAI Commuter itu membawa anda melompati ruang dan waktu yang berbeda dengan cepat, murah dan nyaman, seperti layaknya anda adalah seorang Time Traveler.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H