Aku engga tahu. Tapi tanpa Sananta dan Sroyer sejak menit awal, kita menyerang dengan gelandang Beckham dan Arkhan yang sudah overloaded di tengah dan belakang. Sedang striker Ragil bermain lembut seperti style Ronaldo Kwateh dalam menghadapi belakang Vietnam yang ganas..
Sehingga ketika Sananta dan Sroyer masuk di babak kedua, para gelandang kita sudah habis bensin, sehingga terlihat Sananta, Sroyer banyak nganggur.
Terkesan secara keseluruhan, skuad Garuda Muda memainkan strategi ekstrem seperti di atas, ini jelas memerlukan anak-anak yang soliditasnya merata. Aku pikir STY memainkan taktik yang beyond dari kapabilitas dan kemampuan dari para pemainnya.Â
STY terlihat tidak rendah hati dengan memainkan melebihi kemampuan pemain, sehingga kontra-produktif dan menjadi tidak maksimal dalam mengeksploitasi skill khas masing-masing pemain.
Sedemikian panjang sudah kepelatihan STY, bahwa seharusnya masalah ketimpangan wasit seperti dalam final AFF2023, sudahlah jauh terlampaui, bahwa itu bukan lagi persoalan penting yang bisa mengganggu persoalan mendasar dari skuad Garuda yang tidak memiliki level yang stabil.
Akhirnya, hal inilah yang hampir selalu memberi result absurd, bahwa setelah sekian lama ini, pelatih STY tidak pernah bertrofi.
Bahkan jika membandingkannya dengan coach Indra Sjafri, tanpa maksud hati untuk membanding-bandingkan, sungguh Lur!Â
Aku bisa melihat Sjafri lebih standar, bisa menggunakan keterbatasan menjadi kelebihan khas dari setiap pemainnya dengan relief yang merata, menjadi kekuatan yang padu, liat dan tidak rapuh.
Melihat STY ke depan dikancah Piala Asia 2023 nanti, mungkin saja tidak banyak mengubah style kepelatihannya, strategi, taktik dan kebatinannya yang sudah berjalan hampir tiga tahun selama ini.Â
Sementara dalam kualifikasi Piala Asia 2023 mendatang, timnas Garuda berada di dalam satu grup cukup maut bersama Jepang, Irak, dan Vietnam.
Meski demikian, tim tetap harus optimis, tapi itu emang berat kok Lur!