Saya masih memandang kejauhan padahal saya merasa sedekat itu, dekat sekali dengan tanah. Ibu saya yang jarang merajuk, hanya sesekali jua mengatakan bahwa dia pernah kehabisan waktu.
Buat apa? Tanya saya.
Ibu memandang saya, seperti mengharuskan saya berpikir, bahwa saya pernah juga kehilangan waktunya, meskipun tak banyak.
Itu tidak sama dengan adikmu, Yun! Tukas mamak saya.
Saya diam saja, memang kadang pikiran saya tumpul dan bebal.
Maafkan Mak! Jawab saya
Ibu membuang matanya yang gundah ke tanah.
Bukan saja Ibu yang terlambat, tetapi adikmu itu juga selalu telat! Lirih Mamak.
Sudahlah , Mak! Jawabku.
Dia selalu lelet dalam hidupnya! Lanjut Mamak, matanya masih terbuang di tanah.
Saya pun meraih pundaknya, berupaya untuk menggesernya dari lubang tanah di hadapannya, tetapi Mamak menepis halus.
Selanjutnya kedua kami terdiam jeda, membiarkan pikiran kami menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi saya merasa alam pikiran saya dan emak akan selalu bertemu di ujungnya bahkan di dalam keabadiannya.
***
Saya masih mengenang masa-masa  akhir emak, dia tidak lagi gairah bercerita, kecuali kembali mengeluh, betapa hanya sedikit waktu yang sudah diberikan kepada adik saya, anak bungsu kesayangannya.
Saya tidak bisa menolongnya, kecuali membiarkan waktu mengambil ikhlasnya. Tetapi emak sudah berjalan cukupjauh, dan berada di ujung umur, sehingga terkadang keikhlasannya berganti rupa menjadi kerinduan.
Adikmu Yun, dia yang paling akhir datang dan juga paling awal pergi! Kata emak ketika kegalauannya merambat.
Saya hanya memandang wajah tuanya yang menyimpan keletihan atas kepergian dua orang, yang pernah ada di paling dalam hatinya.