Kami melaju perlahan dengan kedua kaca terbuka, hitam aspal tersaput malam, sebagian lampu  pedestrian meredupkan cahaya. Hari mendung, tercium bau hujan menyengat, sementara mobil kami berjalan perlahan, sedang pertokoan separuh mulai senyap.
Ku pikir kau menyukainya? Tanya ku.
Kenapa?
Jalan ini!
Dia tersenyum samar, wajahnya menjadi siluet tertimpa sinar gelap terang lampu jalan.
Jalan ini seperti Broadway! Balasnya.
Mmm.. aku menggumam.
Aku mencuri tatapan ke wajah kekasihku di kemudi, dan tidak menemukan apa-apa, hanya wajah lurus ke kaca depan. Tapi aku merasa, dia menanti sesuatu yang sepertinya aku sudah tahu.
Dan benar, tak lama vehicle semakin lelet, saat terlihat seorang wanita berjalan melintasi deretan toko. Aku memandangnya mungkin ini kali ketiga, dan aku merasa kekasihku juga menatapnya. Kemudian dia berbalik tiba-tiba padaku tanpa bicara.
Aku membuang tatapan kembali ke perempuan yang berjalan, seakan wanita yang mungkin menjadi diriku sendiri.
Mobil berjalan semakin kasat sehingga menjelaskan pandanganku ke perempuan itu. Rambutnya kusam dan tidak menarik cahaya. Namun warnanya seperti milikku.
Pas melewati sisinya, wanita iru menoleh, matanya aneh seperti mataku. Demikian tubuhnya yang kurus tak lebih dari garis tubuhku.
Sebelum berlalu di kegelapan, aku masih belum melepas matanya, seperti menemukan cinta yang tak pernah membuatnya bersinar.
Tak berselang wanita itu menghilang di hitam bayang bangunan, meninggalkan jalan dengan gelap yang hampir sempurna. Aku masih mencoba mencari perempuan itu tapi seperti cinta yang tak kunjung datang.
Sementara hawa basah semakin berat menunggu hujan pada waktu yang tepat, yang menjadikan kegelapan dimana jiwa membeku di dalamnya, tak dihangatkan oleh nyala cinta selamanya.
Aku merasa kekasihku masih berusaha menatap wanita itu meski hanya kelam bayangan, dan kemudian tiba-tiba menoleh ke wajahku. Sinar matanya begitu ajaib untuk dapat ku lawan.
Kamu baik-baik saja? Tanya ku.
Dia mengangguk. Kupikir begitu! Semua baik-baik saja. Jawabnya.