Sungguhan saya tak pernah menaruh hati saya ke dalam hatinya. Yani memang datang duluan dan saya tiba di belakangnya sekitar empat bulan kemudian. Meskipun saya beberapa tahun lebih tua, namun saya bekerja di ruang yang sama dengan Yani, gawean kita juga aku pikir similar, sehingga kadang kita interferens untuk pekerjaan umumnya dan demikian juga dengan rekan kerja yang lain.
Di dalam ruang kerja itu cukup banyak kelompok dan saya lebih banyak berinteraksi dengan kelompok yang lebih kurang seumuran dengan saya dan jarang beririsan dengan Yani.
Yani muda dan  cantik, semua rekan menyadarinya. The way she looks everybody likes. Lembut tutur kata dan gerak gemulai tubuhnya. Cantiknya sangat kultur dan tradisional, wajahnya otentik seperti gambar-gambar di majalah heritage atau majalah feminis, garis lekuk parasnya  mengikuti bentuk kesempurnaan, melengkung halus di pipi, hidung, dahi atau dagunya. Matanya bola bulat indah dan jika berkedip seperti mati lampu, senyumannya meleleh sepertinya butuh waktu lama untuk bibirnya kembali ke tempatnya semula, so sweet, manis banged!
Di sela kesibukan pekerjaan, membuat saya sedikit menyimpang dari konsentrasi ketika beberapa lelaki memungut simpati Yani dengan laku yang beragam. Namun saya ehem saja di dalam hati, kerna sejatinya saya kurang suka tipe perempuan  dengan perform  seperti Yani.
Hingga suatu pagi yang lebih pagi, ketika hanya saya dan Yani saja telah hadir di office ketimbang yang lain, Yani menghampiri meja tulis saya.
Pak Cherli temani saya sarapan yuk? Tuturnya lembut.
Saya memandang wajahnya putih, kepala saya celingukan ke kanan, kiri, atas, dan bawah, ternyata benar hanya dua mahluk pagi saja yang ada di kantor, saya dan Yani. Â
Tumben kamu datang sepagi ini Yani? Tanya saya, kerna biasanya hanya saya seorang yang datang paling pagi di blok ini.
Iya, pak Cherli, Yani tadi ikut sama bapak yang harus lebih pagi ke kantornya, jadi sekalian. Jawabnya polos.
Yuk, temenin Yani ke kantin! Lanjuntnya halus.
Mmm.. oke deh, tapi saya udah nyarap!
Ndak apa-apa pak, yang penting temenin saya!
Okeh.. Saya menjawab sembari bangkit sedikit segan.
Kemudian kami melangkah menuju lift turun ke lantai dasar. Â Setelah lonceng lift memberikan signal, pintu pun terbuka dan kami masuk kotak lift dan berdiri berdekatan di dalamnya.
Saya sempat mencium wewangi kimia yang di semprotkan pewangi lift dan itu bercampur dengan aroma tradisional Yani yang mirip aroma terapi. Tak lama lampu lantai dasar menyala dan kami keluar begitu lift terbuka.
Saat kami melangkah, dua rekan kerja lelaki sudah menjelang di muka pintu lift.
Mau kemana? Berbarengan mereka bertanya.
Kantin! Jawab Yani.
Ikuut! Seru keduanya semangat.
Ah! Kebenaran! Engkau berdua nemenin Yani, yach! Kata saya pucuk dicinta ulam tiba kerna sejatinya saya males dengan satu hal ini.