Hujan Bang! Selin berteriak
Air turun tanpa basa-basi, gemuruh seperti ditumpahkan awan, aku berusaha kalem menyisikan sepeda motor mencari celah teras-teras toko di pedestrian buat kami berteduh.
Secepat kuda mesin ku parkir, kami berlarian menggapai tepi naungan. Aku berlari di balik Selin melindunginya dari siraman likuid dingin ini.
Enggak sampai sebelas detik kami sudah terlindung di bawah tepian atap toko yang berjejer, pakaian kami sekejap saja kuyup, rambut indah Selin tertampak basah berkerling seperti intan. Aku masih mencuri parasnya yang mulai menyalju elok.
Kau bisa memakai jaket airism ku Selin! Aku memakaikannya. Dia tertawa sedikit menggigil, sedikit kebesaran kerna Selin begitu slim.
Thanks! Ucapnya, bibirnya begetar.
Kota ini menjadi begitu dingin! Lanjutnya.
Iya! Aku mengiyakan sambil menarik sleeve kemejaku penuh, sementara hujan semakin tebal. Orang-orang pinggiran juga semakin rapat menghindari tempias.
Rapat Bang! Selin melekatkan lenganku.
Hari pun merayapi malam, hujan pun masih betah menumpahkan airnya, orang-orang tidak banyak berbicara, begitu juga aku dan Selin.
Aku lapar Bang! Selin memegang perutnya. Ah, baiklah! Jawabku celingukan mencari rumah makan.
Aku mau mie, Bang!
Oke, ayo! Aku mengambil lengan Selin yang halus dan menariknya cepat berusaha menepis air yang jatuh, kami berlari kecil tiga blok dan tiba di Mie Dalem Kaum.
Aroma bakmi kuah memenuhi ruangan saat kami melangkah menyapa kuat selera rasa, Â aku menarik kursi.Â
No, Bang! Aku mau duduk di sana! Kata Selin meluruskan telunjuknya lentik.
Oke! Lalu kami duduk di pilihan meja Selin, sedikit menyudut, terhindar, namun bisa dengan luas menyajikan tatapan ke hujan di pintu luar.
Aku mie bakso dan es alpukat! Â Aku Pangsit! Kata kami kepada penyaji.Â
Tak lama sajian tiba, asap mangkuknya naik berkejaran sedang es alpukatnya begitu meleleh. Selin melahap dengan cepat tanpa kehilangan keanggunannya, dia terlihat menikmati. Tak lama mangkuk dan gelasnya tandas.Â