Enak, Bang, aku suka! Apa tadi namanya, Bang? Tanya Selin.
Mie Dalem Kaum!
Ku pikir kita mesti sering ke sini ya, Bang!
Oke!
Sehabis santap, hujan masih juga menderu sehingga kami duduk saja menatapi pintu basah di pandangan kami, yang kemudian tampak seseorang perempuan melangkah masuk.
Perempuan yang tidak terlihat muda lagi, namun kecantikannya masih melanglang. Bergaun merah yang sedikit basah dan rambut hitam lurusnya berpendar dilapisi butir hujan.Â
Dia berjalan ringan, leher jenjangnya mengarah ke tempat kami duduk lalu sedikit menggeleng, wajah eloknya sedikit menaik lalu dia meneruskan langkahnya mengambil meja lain. Tanpa sadar aku memperhatikan lady itu.Â
Cantik ya Bang? Selin berbisik dekat ke wajahku.
Iya!
Aku mau seperti perempuan itu jika menua, Bang!
Kamu mau?
Hhmm..
Tak ku sadari Selin memperhatikan lady itu pula, namun perempuan chic itu terlihat tak juga memesan sajian, dia hanya duduk sesekali mencuri tatap ke arah kami. Hingga ketika hujan di luar menyurut, perempuan itu menghampiri meja kami.
Maaf! Saya pikir anda sudah selesai, bolehkah saya menempati meja anda! Katanya.
Ah, maaf tentu saja! Jawab kami.
Lalu dia mengambil duduk.
Maaf, sebenarnya kami sudah terbiasa dan selalu duduk di meja ini sejak lampau. Terangnya.
Kami?
Iya, aku dan suamiku sebelum dan sesudah menikah, kami selalu makan di meja ini. Tetapi lelaki itu telah menghilang sejak lama. Perempuan mempesona itu tercenung mata indahnya menerawang.
Ah, maaf! Kataku dan Selin bersamaan. Kami tak bermaksud mencapai hal privat itu! Kataku.
Tak mengapa! Sahutnya. Tak lama aku dan Selin berdiri untuk keluar bersamaan pula sang penyaji makanan tiba mendekat.
Satu mie bakso, es alpukat dan dan satu mie pangsit! Pesan lady itu.
Aku dan Selin berpandangan beberapa sekon sebelum mengucap pamit dan melangkah keluar rumah makan Mie Dalem Kaum.
Tiba di pedestrian jalan Dalem Kaum yang membasah, hujan tampak mereda dan malam melekat aspal hingga berkilat. Selin mendekap tubuhku, baju gaun merah yang dikenakan mulai mengering sementara rambut indahnya masih berpendaran tertimpa sinar lampu mekuri.
Aku menstart sepeda motor yang bertitik air hujan dan membiarkan Selin mendekap di belakang, kami berdua melaju pelan menepis jalan basah Dalem Kaum yang diam, sediam Selin.
***