Seperti monitor laptop saya yang bergambar kotak warna sama mulu saban saya buka, padahal udah saya kotak-katik dari jendelanya, tapi enggak juga bisa move on.
Kotak-kotak gambar di komputer itu seperti kepala dari ketakutan anti kemapanan,  yang bertahan di limit birokrasi  tua, haus pujian dan campuran dari kemalasan dan kekurangmampuan.
Saya mematikan laptop dan melihat Shin Tae Yong.
Saya pikir saya melihat 4-2-3-1 tanpa Asnawi, saya tidak melihat Rio Ilham suksesor Asnawi melainkan Rahmat Iryanto. Saya bilang ke istri saya bahwa fullbacknya setingan. Istri saya tidak ngerti bola, dia bilang ngeprank dan setingan sudah jadi kebutuhan selain bahan pokok disini.
Tapi ini  Shin Tae Yong pelatih asal K-pop, menempatkan defender midfielder sebagai fullback, buk!
Kau mau nonton bola apa tidak sih? Kalo enggak aku mau nonton insret! Sret!
Insret? Jangan buk! Saya mau nonton bola!
Dan betul Rahmat tidak bisa memainkan fullback, dia sering auto reset ke midfield sebagai posisi rasa originalnya, tidak ada overlap di flank kanan antara fullback Rahmat Iryanto dan winger Egy Vikri. Kasihan Egy dia banyak berjuang sendiri dari lapangan tengah hingga ke baseline pojok, bahkan menusuk secara individu ke tengah untuk menendang ke jala Kawin.Â
Malah Marselino yang mempunyai tugas lain, beberapa kali membantu set over dengan Egy. Sementara Rahmat tidak bisa beranjak lebih jauh, hanya seperti bayang-bayang di belakang serangan.
Akibatnya segitiga Egy-Irfan Jauhari-Witan di kotak 16, tidak pernah terlihat seperti biasanya, seperti melawan Myanmar atau Filipina. Tidak ada kerjasama 1-2 atau 1-2-3 bang mantu naik kuda, melainkan sporadis single attack, entah itu dari Egy, Klok, atau Witan. Akibatnya tentu saja dalam 30 menit tampak Egy sangat kelelahan.
Kalo Witan saya tidak melihat banyak terlibat di serangan, mungkin dia bukan tipe seperti Egy yang bisa bekerja dari bawah. Fullback Dewangga juga tampak berada banyak di bawah tidak seperti biasanya yang menopang Witan di flank kiri, barangkali lebih menjaga keseimbangan ketiadaan Asnawi.
Jadi mesin sayap tidak bekerja baik sehingga kepalanya juga tidak terkendali, tidak ada serangan dari Timnas yang sungguh-sungguh berbahaya dari suatu kerjasama di depan. Kesebelasan terlalu banyak tertarik ke samping akibat ketiadaan fullback yang propper.