Perdana saya ketemu Laura seperti puluhan tahun yang yang silam. Perempuan Laura itu seorang penyair, sama seperti saya dan pula 3 atau 4 penyair yang lain, yang mana saya tak lagi mengingatnya.
Pada saat itu, kami bersama telah terpilih atau bisa kalian sebut, kami tercebur ke dalam program pembacaan puisi berbayaran sekitar 100 ribu per penyair. Tapi itu bukan soal. Sama sekali bukanlah sucks wedge yang payah. Bukan!
Sisi menariknya buat saya adalah, ternyata program ini tidak hanya membaca puisi an sich, melainkan lebih kaya dari yang saya kira. Selain pembacaan puisi panggung, ada nilai yang lebih gila di balik panggung dan saya pikir penyelenggara yang adalah sebuah universitas lumayan mentereng, mengetahui spirit puisi selain batang tubuh semata.Â
Jadi sebelum puncak acara yaitu panggung gahar mebaca puisi, dilengkapi juga rundown pertemuan, diskusi, loka karya sampai proses pemasakan puisi kami yang masih hangat fresh from the oven untuk ditampilkan.
Bermula dengan universitas menjamu kami di dalam acara malam perkenalan, dengan diner yang saya nilai memadai. Saya pun menikmatinya, kami bercengkerama dan sedikit memberikan clue untuk beberapa puisi kami yang sudah centang ungu. Obrolan sehabis gegares, semakin menarik.Â
Saya meminum bir penutup hidangan, demikian halnya dengan Laura dan 3 atau 4 penyair lainnya. Tapi ke 3 atau 4 kawan lainnya itu hanya meneguk secukupnya dari kaleng tin digenggaman mereka, sebaliknya saya dan Laura berulang mengorder kaleng-kaleng bir baru. Kami lebih banyak meminum daripada yang lain.
Di kesokan harinya, acara dilanjutkan dengan dapur puisi, maksud saya, kami sebagai penyair terpilih, dipersilakan untuk bebas berkreasi. Mau tutup mulut boleh, mau berdiskusi boleh. Dan hanya Laura yang kerap bertukar isi kepalanya, pada kali itu dia menuliskan puisi berisi waktu-waktu yang mengerikan bersama lelaki, sedang saya mengungkapkan tulisan, bagaimana wanita secara mengerikan memperlakukan saya. Â
Tetapi saya tidak blak-blakan mengutarakan pikiran saya kepadanya, mengingat eksperiens saya, jika seseorang mendengarkan ocehan kosong ini, maka dia akan lebih baik mendengarkan kata-kata seseorang yang bukan penulis.
Dan kami semua berusaha untuk memeras imajiner untuk menghasilkan puisi-puisi yang maknyus termasuk ke 3 atau 4 pemuisi yang lain itu.
Tetapi bagaimanapun, yang terbersit dalam kalbu saya ada kontradiksi antara saya dengan Laura dalam menulis urusan hati, bahwa perempuan penulis puisi ini dan saya, secara khas tercermin saling kurang sukak,  terutama di sebagian besar waktu bersama  proses dari puisi-puisi kami.
Melalui satu hari yang sulit, akhirnya kami berhasil menjelmakan beberapa lembar tulisan puisi yang kami rasa cukup mewakili dengan apa yang diinginkan atmosfer perhelatan ini, yaitu menghapus stigma dari panitia yang yang selama ini dicap pemalas, mau gampangan, dan diteriakin lolagilolagi. Saya sendiri kurang hirau dengan hal-hal begituan apalagi menyangkut cuan yang lebih banyak aturannya daripada jumlahnya.