Sebagai lelaki berusia aku memulainya sangat kuper. Aku tidak punya perempuan sepanjang kehidupan, maksudku paling tidak hingga sekarang ini. Aku tidak merana, karena itu lebih baik, sehingga aku bisa meneruskan perihal introvertku yang selalu menjadi pengamanku.
Aku merokok dan pergi ke kafe atau bar. Ku pikir jadualnya cukup kerap. Aku menyukai asap di dalamnya, maksudku, warna asap di dalam kedai berminuman itu yang berwarna kusam, menyenangkan meski sulit dimengerti seperti mimpi.Â
Aroma kafe itu selalu sama dan selalu memanggil, aku hanya mengenal bartender dan orang-orangnya, selebihnya hanya orang-orang yang asing yang wajahnya familier.Â
Perempuan? Ya! Disana aku menemukan kemauanku untuk melihat paras-paras penuh ekspresif. Ah! Aku suka drama tentu saja, dan aku seperti menjalani lakon, ketika memasuki kafe dengan langkahku yang melayang. Tapi mataku tak berani menatap lurus, aku hanya menunduk terus.Â
Mengambil porsi kursi yang selalu sama, yaitu sudut yang ku pikir memang bukan favorit. Dan aku duduk di kursi dan meja kayu dengan warna lebih tua, dengan mulai menyalakan sigaret, seperti tanda bahwa aku telah bergabung, lewat hembusan asapku yang membubung.Â
Lalu aku akan minum satu atau dua untuk menyerap hangat lalu aku hanya diam bersama nyanyian-nyanyian  penyanyi bar tentang kisah-kisah yang  tak pernah ku ingat. Itu menerus sampai biasanya pukul sebelas malam adalah waktuku pulang, sebagai batasku untuk menarik kerja esok pagi dan menenggelamkan kerja seharian ini.
Tapi kali ini ternyata aku melewati waktunya, dan masih terpaku di kursi kayu. Ketika udara fragrans di sekeliling tubuhku seperti memerangkap. Aku menghirup semerbak, bahwa itu menggairahkan, tapi aku menyesapnya gugup. Lalu bayangan samar seperti melekat.
Hei! Aku pikir kau sudah melampaui waktu! Benarkah? Aku mendengar suara dekat sekali, dengan hembusannya yang begitu lembut. Seorang perempuan muda menyisi tubuhku dekat, sangat dekat. Aku tak berani menatap.
Kau tak hendak menatapku? Sambungnya dengan suara lebih empuk.Â
Pelan ku menggerakkan kepalaku dari permukaan lantai, yang kesatu ku pandang backheelnya yang tinggi. Kemudian mengikutinya ke lebih atas, sepasang tungkai yang indah melengkung menuruti bentuk tumitnya. Lebih meningkat, ku pikir tepi fabric bawahnya teramat tinggi. Dan aku berdebar untuk lebih ke atas ketika beruntung mahluk itu berpindah lembut. Dia mengambil kursi di seberang dan duduk berhadapan.