Mereka sedang membangun rumah, seingat saya dimulai sejak empat puluh hari yang lalu. Orang-orang tidak akan menyadari bahwa mereka sedang membuat rumah, sebab dilihat dari permukaan tanah rumah itu terlihat baik-baik saja, seperti lumrahnya rumah, berdiri tegak di rata tanah.Â
Tapi saya yang tinggal melekat pada dindingnya, bisa mendengar suara-suara pukulan palu yang menancapkan paku ke dalam kayu. Tek-tok-tek-tok-tek-tok. Setiap hari.
Beberapa hari kebelakang sejak dimulainya kesibukan itu, saya pun menyadari bahwa rumah yang dibangun ada di bagiansetengah blok bawahnya. Makanya dari atas tidak pernah tampak pembangunan rumah tersebut. Orang-orang mungkin tidak merasakan apa yang saya rasakan soal proyek rumah ini, karena mereka hanya melihat permukaannya saja.
Hari-hari selanjutnya  kebisingan mulai menjalari kenyamanan saya, ini mengganggu keseimbangan saya yang sudah  mapan. Kenikmatan saya sebagai lelaki rumahan menjadi terganggu. Skedul harian saya menjadi kacau akibat ketenangan yang tidak menentu ini.Â
Jam makan pagi saya menjadi ngaret dari biasanya jam enam pagi menjadi jam tujuh, pekerjaan menulis yang memerlukan konsentrasi juga menjadi lebih panjang karena harus mengumpulkan perhatian yang terserak akibat mesin-mesin potong kayu yang berderit. Waktu membaca buku sastra mengalami kemunduran yang masif, berubah menjadi lewat tengah malam.Â
Saya pun menjadi kurang tidur, karena lebih banyak keluar dari lingkungan berisik ini, pergi ke kafe atau bar untuk menemukan suasana intim yang saya perlukan.
Larut malam biasanya saya pulang, mendengar burung malam yang datang sejak rumah ini dibangun, burung hitam itu melompat-lompat di tanah dan mematuk-matuk kayu bangunan yang menjorok ke dalam tanah sebagai bagian dari 'underground'.Â
Patukan paruhnya begitu kuat, berbunyi persis sama dengan pukulan pasak tertanam ke badan kayu. Â Tek-tok-tek-tok-tek-tok, begitu bunyinya setiap malam. Saya membencinya, mengapa di tengah malam itu burung masih melanjutkan musik pembangunan rumah blok bawah tanah itu.Â
Berhubung malam sepi senyap, suara mematuk itu semakin terdengar kencang, melebihi suara kerja orang-orang bangunan di siang hari. Beberapa kali saya mengusir burung hitam berparuh tajam itu namun dia tak hendak pergi, dia seperti melawan dan mengatakan bahwa inilah tugas malam yang harus dituntaskannya.
Akhirnya saya 'give up' dan membiarkan suara itu menyerap malam. Saya menyumpal kedua telinga saya dengan potongan kain dan berusaha tidur dengan menaikan seluruh selimut tinggi hingga menyentuh kerongkongan saya, sembari berharap bahwa ini akan segera berakhir dan saya kembali ke dalam kehidupan normal saya.