Brentford vs Liverpool minggu ke 6, Sabtu 25/9 di Brentford Community Stadium merupakan pertandingan tuan rumah Brentford yang mempesona dan penuh kegembiraan akan sebuah permainan bagi tuan rumah. Sebaliknya bagi Liverpool, pertandingan melawan Brentford yang tak pernah terjadi lagi dalam waktu yang lama, menjelma menjadi ketegangan buat anak-anak Klopp.
Teknik permainan 'puzzle' dari penempatan bola cepat Liverpool yang biasanya menarik menjadi terlihat kuno ketika melawan tim Brentford dengan gaya penempatan bola random. Permainan satu orang satu bola Liverpool, menjadi obsolet manakala harus berhadapan dengan permainan satu bola dua orang Brentford.
Ditunjang dengan kemampuan memenangkan duel bola, teknik yang diperlihatkan Brentford menjadi paripurna, ketika empat kaki menguasai bola akan membuat kemana pergerakan arah bola, tak pernah bisa diduga.
Hal ini yang membuat bek sekelas Virgil van Dijk harus pontang-panting mengantisipasi serangan Ivan Toney cs dengan aliran bola yang seperti air mencari setiap celah yang memungkinkan untuk tetap mengalir. Bahkan Virgil beberapa kali sempat curhat dan merengek menunjukkan ketidakpuasannya kepada wasit Stuart Attwell, namun tetap tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Mengambil formasi line up 3-5-2 Brentford dibawah pelatih Thomas Frank berhasil mengambil lapangan tengah Liverpool yang rigid dengan formasi standard Juergen Klopp 4-3-3. Meskipun di babak kedua, Klopp menambah daya gedor serangan dengan mengangkat tinggi garis pertahannnya namun dengan cerdik Thomas Frank meng'counter' hal serupa. Akibatnya lapangan permainan menjadi sempit, dan Brentford dengan mudah menguasai pitch karena penumpukan pemain tengah mereka.Â
Dengan proses gol-gol yang ter'engineered' dengan baik Brentford menunjukkan pula bahwa ini bukan suatu kebetulan, keuntungan ataupun suatu pemanfaatan. Pembuatan gol pembuka dimulai dengan skema segaris melebar dari empat pemain Brentford di depan garis gawang Liverpool, dimana umpan silang dari sisi lapangan bisa dimanfaatkan oleh tiga pemain lainnya, sehingga pertahanan Liverpool akan sulit menduga siapa diantara tiga Brentford yang akan menjadi eksekutor.
Kali ini umpan silang kanan luar Sergi Canos kepada penyerang cerdik Ivan Toney hanya diteruskan ke jalurnya dengan tumit ke Rico Henry (sayap kiri) yang gagal menyosor dan kemudian disambar oleh Ethan Pinnock (bek kiri) sebagai eksekutor terakhir di tiang belakang.
Demikian halnya gol kedua, Brentford kembali memerankan belakang ke depan oleh tembakan center back Pontus Jansson yang mendapat bola silang dari kanan, membentur mistar, sementara Vitaly Janelt (gelandang kiri) yang menjadi target mampu menanduk bola mengecoh bek Liverpool Trent Alexander-Arnold.Â
Gol ketiga Brentford adalah pamungkas dari serangan segitiga bola dari  supersub Yoanne Wissa-Ivan Toney-Rico Henry yang membuat overload di tiang belakang kiper Liverpool Alisson.
Gol yang dibuat Liverpool adalah gol-gol lebih personal, tanpa rancang bangun  dan beraroma keberuntungan, seperti gol M. Salah sebagai pelarian offside serta gol tendangan tunggal jarak 20 meter Curtis Jones berbelok arah karena tersenggol kaki bek Kristoffer Ajer. Hanya sundulan gol pertama Liverpool yang dicetak lewat sundulan Diogo Jota yang masih mempertunjukkan kejelian Jota.
Akhir pertandingan dengan skor mewah 3-3 adalah kekalahan terselubung yang menyakitkan bagi The Reds, karena dikagetkan dengan permainan Brentford yang menutupi seluruh permukaan rumput hijau lapangan. Pola bermain pasukan Liverpool seperti hanya menjadi satu background dari suatu pertunjukan sepakbola Brentford, bahwa pola Liverpool terlihat ketinggalan jaman dan sudah harus  siap-siap dimasukkan ke dalam lemari sejarah.