Kali ini Candy tak memakai mantel, dia hanya memakai baju apa adanya, tidak seperti biasanya. Emaknya yang memergoki langkah panjangnya berteriak.
Kau pakai jas hujanmu, Candy!
Nggak Mak! Candy buru-buru!
Anak perawan itu berlari kencang, baju minim birunya melambai menabrak angin. Mak menatapnya hingga mengecil, kepala yang penuh uban itu menggeleng seperti poros lepas.
Perawan itu? Gumam lansia perempuan itu.
Kemana Candy, Mak? Dulur tetangga mendekati sang ibunda.
Memetik awan! Jawab nyonya kolot itu, seperti sewot.
Nanti awak kedinginan, Mak? Perempuan tetangga bersenandung tanya. Emak Candy tepekur menggulung cucian, ketika perawannya pergi menjemput awan.
Candy yang berkulit putih menaiki bukit meliuk, tubuh kecilnya memudahkan angin mendorongkan gaya keatasnya seperti fisika tekanan. Candy menjadi pesawat ringan dengan telapak kakinya menyentuh kapur seperti terbang. Semakin tinggi semakin berkurang gravitasi, hingga lengan lentiknya mulai menggapai awan yang paling rendah.Â
Kantung yang dibawanya mulai dikembangkan untuk menyergap awan, sekali tangguk, awan itu penuh berdesakan terlihat di lapisan kantung transparan bak di balik kaca.