Tirai jendela separuh tersibak, terlihat matahari pulang ke barat meninggalkan serat. Rumah kayu ini menjadi sunyi meski beberapa masih bersimpuh sepi. Lantai berwarna kilap memberi cerminan orang-orang dengan bibir terkatup. Lelaki katanya akan pulang, demikian ibu-ibu tetangga berbisik.
Sehabis berapa lama? Perempuan baya saling beradu mata dan menggelengkan kepala tanpa batas jawaban.
Lelaki tak pernah pulang! Ibuku berkata dengan kacamata yang berembun. Lalu tak ada pertunjukan suara kecuali bisu. Aku tahu mereka prihatin, sampai tahun tak terhitung lelaki meninggalkanku. Teramat silam melupakan, apakah ada cinta lagi bahkan apakah pernah ada cinta? Aku sudah tak merasakannya lagi kecuali waktu yang berjalan.
Aku berbaring di atas tilam yang tebal dan mencium aroma harum setaman. Ternyata beberapa remaja putri melangkah masuk dengan beberapa ikat kenanga dan melati. Mengharu-biru ruangan dan menuansakan udara rumah dengan fragran yang ku sukai. Â
Terimakasih! Ucapku dalam hati.
Beberapa perawan lain membawa penganan berwarna pisang dan merah gula yang tampak sedap menggiurkan selera.
Silakan ibu-ibu! Ibuku menyilakan kepada tamu yang bergerak perlahan, untuk merambah tipis hidangan. Tak banyak yang memulai malah sisanya berdiam dengan mata yang lurus.
Belum juga datang? Ketua rukun menanyakan hal kepada ibuku.
Sebentar lagi. Baru saja tiba di setasiun, infonya! Ibuku tampak rikuh menjawab dengan gawai di tangannya.
Dan benar, selang beberapa penggal waktu lelaki itu tiba dipintu yang membuka di tengah. Kerna aku menghadap ke ruang depan, kupikir aku yang pertama melihatnya. Lelaki itu seperti tak pernah berubah, meski terlihat dengan latar senja dan bayang tumbuhan hijau yang merayap di dinding.
Meski tahun berlalu banyak tak terhitung, lelaki itu masih tampak tegap seperti potretnya dahulu muda. Sedikit kerut yang tak terelakkan di parasnya, serta janggutnya yang  tipis kasar memberikan kesan perjalanan hidup yang tidak gampang.