Rumah besar itu akan segera rampung. Banyak pekerja menyurut tak seperti sebelumnya. Mereka yang tersisa bergerak seragam, hanya kerja memoles supaya kinclong. Empunya kerap tiba untuk meneliti dengan seksama bersama arsitek, berkeliling dan menaiki balkon yang berlapis lima keatas, sehingga tubuh orang-orang itu terlihat kecil seperti menyentuh langit.Â
Rumah itu sangat besar, terlalu besar malah menurut mataku. Pastilah banyak rumah yang ada di dalamnya pikirku, rumah ini lebih besar dari rumah-rumah sekitar yang jadi terlihat kecil. Rumah baru ini lebih besar dari segala alam di sekelilingnya. Terkadang ketika aku memandang, serta merta menjelmakan ketakutan. Apakah rumah itu rumah penyelamatan? Kadang kepalaku yang kurang ini berpikir.Â
Dari dalam rumah kecilku yang hanya berisi perabot serba mini, dari meja sampai ranjang, Â dengan ruang sempit yang menyekap diriku sendiri selama hampir separuh hidupku. Betapa semenjak kehadiran rumah besar itu, rumah pengapku bukan lagi menjadi tempat kedamaian dan kegembiraan dan tiba-tiba mulai dibasahi air mata.Â
Setiap mataku memandang rumah besar yang dibangun dengan kokoh itu, pastilah akan ada kedamaian dan keamanan yang abadi disana. Seakan ku membaca, rumah besar ini tidak bisa membiarkan air mata masuk. Rumah mewah yang menyimpan melulu kebahagiaan.
Hingga tibalah waktunya rumah gahar itu selesai dibangun, besar dan mewah, membuat orang-orang sekitar memikirkannya saja tak sanggup apalagi menduga-duga isinya. Demikian mata memandang, tak kuasa berlama-lama, serta merta kelopak mata akan terpejam dengan sendirinya. Menyilaukan dan menundukkan kepala seperti hening cipta.Â
Apalagi diriku, yang termasuk ke dalam golongan margin di sekitar, merasakan kecil dan rendah. Satu kali kami yang fakir pas-pasan ini sampai berlinang air mata, mendapati hati dan tubuh kami terasa nelangsa, bagai diingatkan sebagai mahluk berdosa.
Tiada tampak selamatan seperti menjadi kebiasaan rumah anyar, saat pertama rumah terbuka. Para pemilik yang berpakaian bagus tampak beriring melangkah masuk kedalam rumah indah itu. Mereka berjalan seperti terbang tidak menapak alas, ringan melewati pintu masuknya yang tinggi besar. Kami sebagian besar rakyat kecil hanya menatap mata, hanya bisa memata-matai dari kejauhan dengan segala rupa perasaan yang berkecamuk.
Apakah mereka dewa? Tetangga gubuk sebelahku spontan bertanya lebih pada rasa kekaguman, yang diakuri dengan anggukan kepala lainnya.
Kira-kira dari mana mereka pak? Kerabat selang satu rumah denganku  bertanya sambil menyenggol lenganku. Dan kupikir dia salah satu orang yang bisa berpikir logis. Aku garuk-garuk kepala mencari sahutan yang tepat namun sulit.
Dari negara antah-berantah! Imbuhku. Dan kumpulan orang-orang papa di sekitarku ini terperanjat, bahkan sampai ada yang meloncat masuk ke dalam parit sehingga membuat kegaduhan kecil.
Huussshhh..! Jangan bising! Kataku mendesis sembari merunduk rata di badan parit. Diikuti pasukan kroco mumet ini, dengan seragam mereka merendahkan kepalanya rata setinggi permukaan lembah parit. Sekendali keadaan, kembali kepala kami mulai menyembul memperhatikan orang-orang mulia itu keluar dari beberapa mobil mewah berjalan melayang masuk ke rumah mega itu.
Siapakah mereka ya Bang? Kembali beberapa yang tak tahan mulutnya bertanya-tanya kepadaku, membuatku kesal.
Justin! Jawabku.
Justin? Mereka berpandangan setelah ucapanku.
Ya. Justin Biber! Kataku melengkapi. Membuat mereka melongo mendengar nama asing di telinga mereka dengan saling berpandangan.
Ada sekitar tiga belas orang memasuki rumah gedong itu, setelahnya tidak tampak apa-apa lagi. Pintu depannya tertutup berikut pintu pagar tingginya juga tergembok otomatis. Hanya meninggalkan sepi yang mulai membatu di sirami senja dengan sinar matahari yang segera pamit. Bayangan rumah berlantai lima itu semakin megah di rasuki bayangan magenta matahari pulang.
Sementara kami sebagian besar masih bertahan di gundukan selokan mengamati dan menanti apa kemudian yang bakal terjadi dengan gedong baru itu.Sehingga aku menawarkan giliran jaga sebagai kesinambungan pengamatan kami, warga nelangsa ini.
Ide yang baik pak! Saya setuju! Semua serempak akur, lalu mengundi dengan hompimpah siapa yang berjaga dan siapa yang berpulang. Mereka menunjuk ku sebagai komandan yang memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal yang dirasa perlu. Dan aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama separuh rombongan pengintai sebagai bentuk tanggung jawabku terhadap kerumunan ini.
Setelah setengahnya pulang kami tersisa hanya dua belas orang saja, semuanya lelaki. Menunggu sampai tertidur karena rasa kantuk yang menyengat yang entah datang dari udara mana. Kelihatan hanya diriku saja yang bertahan dari kantuk dan rajin mengamati rumah yang menyalakan benderangnya mulai menyilaukan. Sementara sebelas anggota peserta lain mulai mendengkur dengan nada yang hancur, mataku masih nanar melihat rumah besar itu saat pintu pagarnya terbuka dari remote. Aku melihat arloji kusam di tangan menunjukkan tepat jam duapuluh empat tengah malam.
Serta merta pintu depan rumah istana itu terbuka, serta-merta pula tampak iring-iringan orang muncul entah dari mana, perlahan menuju gerbang besarnya. Dalam kegelapan aku membelalakkan mata agar jelas mengamati orang-orang baru itu yang terlihat berpakaian sederhana, bahkan sebagian hanya memakai sandal jepit.Â
Mereka berbaris sopan melewati gerbang dan disambut pemilik rumah yang berpakaian mewah bercahaya. Wajah rombongan orang-orang kasihan itu terlihat buram dari kejauhan, namun lama-kelamaan aku bisa mengamati dengan sedikit jelas. Bahkan aku mulai dejavu ketika melihat cara mereka berjalan, berlenggok dengan bahasa tubuhnya yang familiar. Yang pada akhirnya membuatku tertegun sampai jantungku seakan mengalami henti detak, ketika melihat salah satu wajah yang pernah kukenal dekat. Bukankah..? aku mengucek-ngucek kedua mataku sendiri.
Bukankah itu adalah wajah tetangga gubuk sebelahku yang barusan saja bersama mengamati rumah itu, dan telah pulang terlebih dahulu? Dan orang-orang di sekitarnya pun makin terlihat jelas, bahwa mereka warga papa dari kerumunan pengintip yang barusan saja bersamaku, yang sementara ini mereka sedang pulang ke rumah masing-masing untuk bergantian jaga.
Badanku pun bergetar dan kulitku berkeringat deras memandang prosesi penduduk kecil yang kukenal masuk ke dalam rumah mansion itu. Melihat mereka bercanda bagai tanpa beban hidup, berjalan masuk melewati pintu besar yang seperti berlapis emas.Â
Lenganku yang bergetar tremor berusaha membangunkan rekan-rekan miskin yang tertidur lelap di sekelilingku, namun mereka tak juga terjaga. Suara ngoroknya menjadi sepi dan mereka tetap tertidur bahkan semakin pulas.Â
Wajah-wajah mereka juga tampak beku dan putih. Aku jadi merasa sendiri, yang dengan keraguan memberanikan diri meraba wajah-wajah mereka bermaksud membangunkan mereka. Namun seketika aku merasakan begitu dingin seperti menyentuh es.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H