Siapakah mereka ya Bang? Kembali beberapa yang tak tahan mulutnya bertanya-tanya kepadaku, membuatku kesal.
Justin! Jawabku.
Justin? Mereka berpandangan setelah ucapanku.
Ya. Justin Biber! Kataku melengkapi. Membuat mereka melongo mendengar nama asing di telinga mereka dengan saling berpandangan.
Ada sekitar tiga belas orang memasuki rumah gedong itu, setelahnya tidak tampak apa-apa lagi. Pintu depannya tertutup berikut pintu pagar tingginya juga tergembok otomatis. Hanya meninggalkan sepi yang mulai membatu di sirami senja dengan sinar matahari yang segera pamit. Bayangan rumah berlantai lima itu semakin megah di rasuki bayangan magenta matahari pulang.
Sementara kami sebagian besar masih bertahan di gundukan selokan mengamati dan menanti apa kemudian yang bakal terjadi dengan gedong baru itu.Sehingga aku menawarkan giliran jaga sebagai kesinambungan pengamatan kami, warga nelangsa ini.
Ide yang baik pak! Saya setuju! Semua serempak akur, lalu mengundi dengan hompimpah siapa yang berjaga dan siapa yang berpulang. Mereka menunjuk ku sebagai komandan yang memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal yang dirasa perlu. Dan aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama separuh rombongan pengintai sebagai bentuk tanggung jawabku terhadap kerumunan ini.
Setelah setengahnya pulang kami tersisa hanya dua belas orang saja, semuanya lelaki. Menunggu sampai tertidur karena rasa kantuk yang menyengat yang entah datang dari udara mana. Kelihatan hanya diriku saja yang bertahan dari kantuk dan rajin mengamati rumah yang menyalakan benderangnya mulai menyilaukan. Sementara sebelas anggota peserta lain mulai mendengkur dengan nada yang hancur, mataku masih nanar melihat rumah besar itu saat pintu pagarnya terbuka dari remote. Aku melihat arloji kusam di tangan menunjukkan tepat jam duapuluh empat tengah malam.
Serta merta pintu depan rumah istana itu terbuka, serta-merta pula tampak iring-iringan orang muncul entah dari mana, perlahan menuju gerbang besarnya. Dalam kegelapan aku membelalakkan mata agar jelas mengamati orang-orang baru itu yang terlihat berpakaian sederhana, bahkan sebagian hanya memakai sandal jepit.Â
Mereka berbaris sopan melewati gerbang dan disambut pemilik rumah yang berpakaian mewah bercahaya. Wajah rombongan orang-orang kasihan itu terlihat buram dari kejauhan, namun lama-kelamaan aku bisa mengamati dengan sedikit jelas. Bahkan aku mulai dejavu ketika melihat cara mereka berjalan, berlenggok dengan bahasa tubuhnya yang familiar. Yang pada akhirnya membuatku tertegun sampai jantungku seakan mengalami henti detak, ketika melihat salah satu wajah yang pernah kukenal dekat. Bukankah..? aku mengucek-ngucek kedua mataku sendiri.
Bukankah itu adalah wajah tetangga gubuk sebelahku yang barusan saja bersama mengamati rumah itu, dan telah pulang terlebih dahulu? Dan orang-orang di sekitarnya pun makin terlihat jelas, bahwa mereka warga papa dari kerumunan pengintip yang barusan saja bersamaku, yang sementara ini mereka sedang pulang ke rumah masing-masing untuk bergantian jaga.