Kalah-menang itu adalah keniscayaan, dia tidak seperti kaya-miskin yang absurd, proses perjuangan menuju menang atau kalah terlihat dalam sepakbola yang menjelma menjadi cinta timnas. Jika kita menang kita hebat atau kita kalah kita juga hebat, maka kesebelasan pulang membawa hormat dan kepercayaan. Jika kalah dan unyu-unyu, susah maning son. Kita pulang ke titik yang hilang, artinya menemukan titik mulai saja sudah susah.
Prapiala dunia 2022 putaran kedua grup G ini, memberikan klasemen yang paling menyedihkan buat timnas Indonesia. Selain berada di posisi juru kunci dari lima peserta, timnas juga hanya memiliki 1 poin, dibandingkan dengan 9 poin, poin yang terendah yang diperoleh keempat negara peserta. Jomplang banget, lihat saja beda poin dengan Malaysia yang berada diurutan kedua dari bawah berbeda 8 poin dengan timnas kita sebagai juru kunci.
Jadi, hanya tersisa satu jalan dalam menghadapi Uni Emirat Arab (UEA), yaitu harus bertanding dengan gagah berani, pelatih Shin Tae yong dan timnas. Karena kita hanya selangkah dari abu. Hanya fokus yang bisa menyelamatkan, bahwa timnas sudah ditempa fisik-mental, didalam dan mancanegara. Fokus bahwa timnas bukan lagi timnas serabutan, fokus kepada kepercayaan diri bahwa kita telah terlatih dengan baik dan benar.Â
Terlalu muluk dengan semboyan semangat untuk menjungkalkan UEA dan harus menang hanya membuat fokus utama yang sederhana dan masuk akal menjadi rabun. Setiap pemain fokus saja  bahwa ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap segala kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka.
Menghadapi UEA dengan semangat baru bisa saja menjadi basi ketika berada di lapangan, tim psikologi timnas perlu memberi realitas disamping 'revolusi mental'. Â Tidak menggebu, instan ingin mengalahkan UEA. Mungkin perlu kembali ke dasar lagi seperti latihan, kompak dan gembira, sehingga akal terbuka.
***
Ditilik dari performance tim UEA, perlu dicermati bahwa timnas UEA tidak begitu menakutkan dibanding Vietnam, tipikal permainan mereka serupa dengan Indonesia, bertempo lambat sedang, hanya UEA itu sangat mematikan, terutama jika bola sudah menyentuh area kotak penalti. Pemainnya stylish penuh gaya, maklum mungkin dari negara kaya.
Barangkali formasi UEA 4-4-2, artinya sedikit berbau serang ketimbang 4-5-1, karena UEA memerlukan kemenangan. Menggunakan dua penyerang Caio Canedo dan Ali Mabkhout. Barangkali nama yang terakhir ini merupakan pemain yang berbeda dengan yang lain. Mabkhout adalah pemain cepat dari sembilan yang lambat.
Skill individu rata-rata kuat, dibarengi postur yang besar, UEA selalu menang dalam prosentasi penguasaan bola, tapi permainan blok mendominasi. Indonesia harus menerapkan block marking untuk mempersempit regangan mereka, terutama gelandang sayap mereka Abdalla Ramadan dan Bandar Mohammed.
Bandar juga spesialis bola mati dengan tembakan keras dan akurasi tinggi, banyak peluang tercipta untuk membuat gol lahir dari pemain nomor 9 ini. Bagusnya harus ada yang mematikan pergerakan Bandar Mohammed, sehingga sisi kanan serang yang menjadi tumpuan UEA tidak berfungsi.
UEA bermain realistis, kerennya bermain aman untuk menang, hati-hati dan cenderung bertahan yang tak lepas dari pragmatisme pelatih Bert van Marwijk. Saat menghadapi Thailand, meskipun unggul 3-1, bukan berarti itu kemenangan mudah bagi UEA. Pertandingan berjalan seimbang, saling serang dengan peluang yang sama, namun Thailand kurang beruntung, padahal sudah berhasil menekan UEA dengan memperkecil skor 2-1 untuk bisa menyamakan kedudukan.
UEA yang di awal bermain tinggi, mulai menarik turun garis pertahanannya menghadapi serangan Thailand yang keras. Tim Thailand banyak membuang peluang, sedang UEA lebih banyak memanfaatkan peluang menjadi skor. Â UEA tampak lebih banyak bertahan relatif terhadap Thailand.
Mungkin disini Indonesia punya banyak kesempatan bermain pendek dan cepat seperti yang biasa dilakukan. Â UEA akan tetap mengandalkan keunggulan fisik dengan umpan lambung terutama arah vertikal, umpan silang terutama dari sisi kanan gelandang Bandar Mohammed yang sangat mobil.Â