Kendaraan minibus sekolah berhenti di muka sebuah gang kecil yang lebarnya tak bisa memuat. Â Pak supir memarkir di tanah terbuka tanpa menghalangi jalan masuk. Para penumpang cilik di bangku tengah dan belakang bersiap turun. Tanpa mengurangi berisiknya yang seperti tak sabar untuk keluar dari kumpul bocah yang mengungkung kebebasan mereka.Â
"Keluar satu-persatu anak-anak! Jangan berebut!" aku memberi peringatan kecil.
"Baik pak Guru" jawab mereka serempak. Namun tetap saja mereka bertumpuk hendak saling mendahului, sehingga aku terpaksa menjaga dan mengaturnya bergiliran keluar pintu.
Suara murid-murid kecil ini bertambah pecah ketika menjejak di ruang terbuka, amat berbeda ketika mereka berada di dalam ruang kelas. Aku tersenyum membariskan mereka sehabis semua turun, memeriksa pasukan murid kecil yang berlenggok tanpa beban.
"Rumahnya Hani dimana pak Guru?" murid paling cerewet memulai kicaunya.
"Di jalan sini" kataku menunjuk gang tadi.
Lalu barisan kami masuk menyusuri jalan gang yang lumayan rapat. Namun terlihat lingkungannya tertata rapih, rumah-rumah kecil sederhana berwarna pastel berjejer terlihat bersih. Â Aku masih merunut deretan nomor yang tertempel di setiap rumah sekiranya mendekati rumah murid perempuanku Hani.
"Pak Guru! Merpati!" pasukan cilik di punggungku mengusik konsentrasi. Anak esde ini kembali bising. Aku sedikit menengadah memandang deretan kotak-kotak burung merpati. Beberapa beterbangan, sebagian berputar mengangguk-angguk di serambi kayunya.
"Burung-burung lucu! Indahnya? Aku takut!" beragam kata keluar dari bibir mungil mereka, memaksaku menenangkan. "Ssstt. Kita telah tiba students!"
Dan nomor rumah yang kami cari telah selesai, selang bersebelahan dengan kayu-kayu ruang atas kandang  para merpati dengan kesibukan mereka dari yang melayang, mematuk, hingga berputar menggelembungkan bulu halus lehernya dengan suara menderu-deru.
Aku menatap merpati hanya warna tiga adanya, dari hitam, putih dan abu atau paduannya. Entah aku segera menerbitkan rasa yang curiga kepada mereka. Ada sekonyong rasa syak yang merayap dari balik mataku yang menjalar ke permukaan pikiranku meski aku lalu menganggapnya aneh.