Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ketika Manchester City Bekerja untuk Juara

29 April 2021   15:30 Diperbarui: 30 April 2021   09:02 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manchester City merayakan kemenangan atas Borussia Moenchengladbach Rabu (17/3/2021) dini hari WIB. (AFP/ATTILA KISBENEDEK/KOMPAS.COM)

Manchester City menuju juara sehabis menendang Borussia Dortmund di  perempat final dengan kemenangan laga kandang dan tandang Liga Champions dengan agregat 4-2. City adalah favorit dan akan melawan Paris Saint-Germain di semi final. 

Statistik saat itu mengunggulkan Manchester City-PSG dengan 70%-60%. Tapi keunggulan di atas kertas tidak pernah menjadi kepastian, jika The Citizens bisa membuat seorang Erling Haaland diam selama pertandingan kuarter lalu, kali ini selain dua pelatih keren Pep melawan Poch, City juga mesti menenangkan sekaligus tiga serangkai PSG, yaitu Mbappe, Neymar dan Di Maria. 

Hal ini yang terjadi pada kemenangan tandang 2-1 pada laga semifinal CL leg-1 pagi tadi  kala menghadapi PSG. Guardiola yang diawal terlalu banyak mikir untuk menolak keniscayaan Mbappe dan Neymar. 

Sehingga seorang Guardiola ternyata juga bisa 'jiper' dengan menarik ke dalam 'wing back' nya untuk menahan Mba Mar (Mbappe-Neymar) ke pertengahan lapangan pada pertandingan babak pertama.

Ini kemudian menghadirkan semacam krisis identitas Manchester City, karena primbon 'The Pepness' adalah bek terbang, sebagai pisau bedah yang menarik pemain lawan dengan 'overload advantage' di area pusat dan merenggangkan lebar ruang terbuka permainan, khususnya di sepertiga sisa area serang. 

Beruntung 'over-thinking' Pep segera berakhir dan serta merta menjadi tertawaan bagi dirinya sendiri, sehingga di babak kedua, Manchester City kembali ke undang-undang dasarnya. 

Sekaligus kembali kepada pakem 'sabar mas' tunggu minimum lima belas jumlah operan yang harus dilakukan sampai benar-benar siap mencaplok jaring lawan. 

Dan jangan lupa pula bahwa bermain di bawah Pep Guardila adalah selalu dimulai dari bawah dari tangan kiper, enggak seperti tendang asal jauh ke depan. Build Up ini sudah bertahun-tahun dijalankan oleh Pep karena dia ingin kestabilan tim yang dimulai dari bawah itu enggak instan.

Mungkin Pep Guardiola akan sukses dan mudah pula jika dia menjadi pelatih sebuah tim Basket, permainan Manchester City adalah permainan bola yang enggak mau diam. 

Pep akan resah jika ada lebih dari dua pemain bersamaan berada pada posisi sejajar vertikal, dan para pemainnya sangatlah paham untuk juga berotasi kebalikan, yaitu jika satu pemain ke ruang dalam papan tengah maka pemain lain akan keluar papan. 

Pakem Guardiola adalah 'ball possession' dan menyerang. Bermain tanpa striker murni, melonggarkan ruang tengah dengan bek sayap terbalik, dan penyerangan vertikal sepertiga lapangan. Makanya, kalo menonton 'The Citizens' selalu menyenangkan baik secara taktis maupun harapan untuk gol yang akan berlimpah.

Dengan basic sistem permainan 4-3-3, City memiliki empat bek tangguh, dengan 'center back' Ruben Diaz dan John Stones yang sudah terlahir alamiah sebagai duo pemimpin. 

Kyle Walker/Oleksandr Zinchenko dan Joao Cancelo adalah 'flying back' yang lebih banyak bekerja di lebih separuh garis depan lapangan. Lawan harus berhati-hati dengan Cancelo, sang pencacah keseimbangan pertahanan kiri lawan. Palang terakhir adalah Ederson Moraes kiper langganan clean sheet.

Lini tengah City cukup istimewa, karena selain sebagai penyerang karena entah kenapa seakan selamanya Pep enggak pernah punya kemauan memiliki striker. Mungkin dia lebih memilih lini tengah yang memiliki fleksibilitas untuk melakukan transisi mulus dari 4-3-3 menjadi 4-4-2/2-5-3 pada tahap setengah lini serang dan 2-3-5 pada tahap sisa sepertiga lapangan atau area kotak penalti lawan, begitu sebaliknya. 

Ini menyenangkan buat ditonton dan terlihat saat laga dini hari tadi. Maju dan mundur pasukan 'Pepness' tampak seperti gelombang ombak laut, rapih dan mengalun. 

Rodrigo-Ilkay Gudogan-Kevin de Bruyne sebagai 'center of transversal' yang piawai menjaga alunan dengan jarak vertikal yang sama dan pendek, antara lini belakang dan lini depan sehingga tidak pernah kehilangan 'ball possession' saat memegang bola dan mudah untuk segera merebut bola saat kehilangan bola.

Khusus 'de kapitein' de Bruyne, sang manajer membebaskannya, sementara para anak buah sang kapten dengan senang hati mengkover segala keperluannya. Bila Kevin mau ke kiri, maka Cancello atau Zinchenko  akan mengisi posisinya, demikian jika Kevin mau ke kanan, maka Walker akan menutupnya.

Kalo 'The Citizens' mau bermain sesuka hati, mainlah bersama Kevin de Bruyne, maka bola akan mengalir dari kakinya menuju penerima yang memiliki hati yang paling pasti. Sepertinya kaki de Bruyne tahu ke mana takdirnya bola. 

Selain operan bola yang eksentrik, dan gerakannya 'out of the box', tendangan ke jaring lawan selalu terlihat kejam. Paras mudanya dingin dan sangat provokatif. Pep Guardiola juga dikenal senang menggunakan 'false nine' saat menyerang dekat, Silva, de bruyne, Sterling, Foden dan Mahrez telah membuktikan kompetensinya.

Untuk lini depan sebenarnya tidak berbeda kualitas dengan tim lain. Foden- Silva-Mahrez  bukan penyerang yang seram seperti Mbappe atau Neymar. Hanya keahlian mereka adalah memainkan formasi palsu. Seperti Bernardo Silva di depan bisa bermain sebagai pengganti Kevin de Bruyne di lini tengah atau bahkan mengisi salah satu peran di sayap.

Vertikalitas dan penafsiran ruang yang digarap Pep Guardiola terlihat efektif saat pertandingan babak kedua kontra PSG subuh tadi, sehingga permainan PSG terlihat seperti menggunakan taktik kuno yang sudah obsolet, menjadikan bintang Neymar kehilangan sinar seakan tidak tampak di lapangan dan Mbappe menjadi cepat jenuh dan membosankan.  

Lalu ketika Manchester City bekerja seiring  jurus-jurus 'Pepness' merata dan mulus dilapangan seperti, build-up yang tenang, bek sayap terbalik, transisi bentuk serang dan bertahan yang 'smooth', peregangan ruang, penguasaan bola yang sabar dan merebut bola kembali dengan cepat.  Maka sulit untuk tidak mengatakan Manchester City adalah juara Champions League 20/21. Awas Lo, Pep kalo kagak juara!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun