Tanggal duapuluh lima Maret. Perempuan perawan itu menunggui rumput. Kata rumor langit, seberkas sinar akan jatuh di pekan ketiga. Susahnya menghitung cahaya yang tak pernah soliter. Itu sebabnya Luna menatapi rumput. Katanya hanya rumput yang bisa menidurkan cahaya.
Sehabis musim air yang lebat, cahaya akan memberkas di rentang Maret. Sementara Luna masih bersedih akan kepergian Februari yang terlambat mengabarkan  cahaya. Terlalu banyak bah mengurai tabir, seakan cahaya enggan jatuh di hijau. Luna akan menanti lalu memunguti di rumput  saat cahaya menyelesaikan hujan. Cinta itu begitu susah sehingga jalan terakhir adalah menunggu Maret, Luna mengeluh panjang.
Di bangku taman yang rumputnya terlalu hijau, seorang lelaki hadir mencari ruang. "Bolehkah saya duduk disini?". Luna menoleh ke lelaki tampan. "Tentu saja".
"Taman ini sudah menghijau, sayang sinar tak kunjung datang" Lelaki berkata.
"Apakah engkau juga penunggu cahaya?"
"Bukan"
"Lalu?"
"Aku penunggu jendela"
"Aku menunggu cahaya" Luna membalas.
"Aku tau"
Lelaki itu menambahkan tentang cahaya yang meninggalkan jendelanya berulangkali. "Cahaya berlalu dan kita tinggal" katanya.
Luna membersit senyum, bahwa cahaya begitu jauh, sangat panjang. Jendela lelaki itu  hanya menafsirkan bahwa orang berada di jalan yang diam sedangkan cahaya di jalan yang tak berhingga. Lelaki tampan mengangguk sambil membuka ranselnya dan mengeluarkan bingkai. Memangkunya seperti jendela.
"Apa yang kau harapkan?" Luna bertanya.
"Angin"
"Oh ya?"
Lelaki itu serius untuk bercerita bahwa dia sejujurnya sedang menanti angin dari kotak jendela. Katanya akan ada tanda ketika hutan menyentuh angin.
"Terus kau mau menangkapnya?"
Pria keren itu menolak. "Aku mau melihat perjalanannya dari jendela"
Lalu ketika ketika tanggal hari ini, cahaya pun datang merebah  memenuhi rumput . Luna yang rindu, bangkit dan berlari ke permadani . Dia membungkuk dan memungut setiap sinar kedalam botol biskit lalu menutupnya segera.
Pemuda itu tertegun. "Kau akan menyimpan dimana?" tanyanya. "Di tempat sunyi" jawab Luna. Lalu Luna memasukkan botol sinarnya ke dalam tas punggungnya.
"Kau akan berlalu?"
"Belum. Aku akan menunggu sinar sampai selesai"
Lelaki itu masih berpangku pigura. "Angin tak juga datang.." keluhnya, membuatnya seperti tertidur. Tak lama Luna menjawilnya ketika dirasa rerumputan bergerak seperti disisir. Lelaki ganteng tergugah dan melihat angin sepoi di dasar.
"Itu angin!" katanya sambil berdiri. Dia memasang jendelanya dan mulai memperhatikan angin yang naik. Tidak seperti dedaunan, tetapi hutan di sekeliling taman mulai bergerak dan angin naik hingga setinggi pucuk pepohonan. Terus naik melampaui semesta milik burung-burung.
"Dia sudah ingin berpisah!" teriaknya sendiri. Pigura jendela dipegangnya sekuat lengannya, seakan jendela ikut terangkat seandainya tangan tak kokoh. Lalu angin seketika berhenti, lelaki kembali duduk masih memegangi segi jendela.
Luna masih terpana, merasakan angin yang naik itu pergi kepada yang tak terlihat. Luna seperti tak mempercayainya.
Sekejap kedua terdiam ketika angin dan cahaya musnah. Mereka lalu berpandangan, seperti masa silam ada diantaranya. Lalu keduanya bertukar, Luna mengambil jendela dan lelaki itu membawa botolnya yang berisi sinar.
"Kau masih memerlukan sinar di bawah sana" bisik Luna yang merasa tubuhnya ringan sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H