Telah dua subuh hujan menderas tanpa reda. Mengirim bah tanpa jera ke tanah bumi, tanpa matahari, bulan dan bintang. Menafikan siang dan malam, jadi cuma gulita diatas yang menjatuhkan garis garis rapat air, sehingga tampak tak lagi hanya membutir, air itu begitu densiti hingga merupa balok-balok turun yang memecah saat menghujam landas yang serta merta menggenang tanpa ukuran waktu dan tanpa kompromi.Â
Demikian cepat sehingga disebutkan ekstrim kerna ukuran kelajuannya  diceritakan tertulis pada angka 226 mm. Sehingga ketika pagi menyeruak, pintu-pintu sudah dipenuhi tamu yang bergerak masif dan likuid, tak ada kesempatan lain kecuali menggenang dan meninggi. Beberapa penghuni perumahan itu membentuk posko di tanah meninggi yang tak terjumput air. Bersiap dengan perahu balon evakuasi bagi orang-orang bertetangga.
"Kita sudah waspada sejak semalam". Terang pak erte. Sebagian orang nampak berjalan menekuk air selutut, beberapa regu penolong berompi oranye sigap menawarkan 'pelarian' kepada para sepuh dan anak kecil. Hari yang sibuk di tengah kota ketika alam membelai.
"Beruntung air tak lanjut meninggi, tertahan di salam angka satu meter". Seorang voluntir menenangkan pemukim yang diangkutnya. Bapak erte menelisik dengan mata pemimpinnya satu demi satu warga yang semua dikenalnya.
"Berapa rumah yang sudah dipindah ke kamp pengungsian?" Dia bertanya ke sekdaRT disebelahnya.
"Siap! Sudah hampir semua pak. Hanya tersisa dua rumah susun yang sekarang ditunggu oleh penunggu muda. Satu lagi rumah pak Banyu.." pak sekda RT menggaruk-garuk rambut basahnya.
"Lah! Pak Banyu itu kan bujang lapuk? Lagi rumahnya tanpa susun? Gimana sih? Ayo cepat dan paksa pak Banyu keluar sarang. Bahaya ini!" Pak erte mengerenyitkan jidat sembari mendelik.
"Tapi pak..."
"Ah.. cepet laksanakan penyelamatan!". "Siap..Siap.." Tergopoh pak sekda berlari memerintah kumandan perahu pasal karet, yang gercep mengambil ancang-ancang.Â
"Rumahnya yang paling pojok, ya!" teriak sekda.
"Asiaap..Boss!" Jawabnya tangkas sambil melaju menerjang air.