Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mawar Buat Inka

8 Februari 2021   13:00 Diperbarui: 8 Februari 2021   13:06 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by melancholiaphotography from Pixabay

Inka menghapus bibir merahnya, dari bayang kaca dia menatap parasnya sendiri. Lalu mengulas lagi bibir indahnya dengan 'lipsglow'. Menyibak rambut  lurusnya ke sisi, sejenak mata bulatnya menekuni garis-garis tipis di tirus wajahnya. Waktu memang berjalan menua. Hari ini pas hari tahun ke empatpuluhnya, usia yang cukup jenjang untuk seorang wanita timur ketika belum juga menikah.  

Entah akhir-akhir ini dia merasakan limbung perihal kesendirian, perihal karirnya yang roket, terlebih perihal kebatuannya  untuk hidup anti-lelaki. Dari mata bulatnya yang menyipit dia menatap kebawah lalu-lalang  kendaraan yang beriak ditempa hujan. Kaca ruang kantornya yang 'hi-sky' selapis memburam, kerna pengembunan udara luar yang humid.  Hatinya  selalu berbunga, ketika dia menatap keluar lewat kaca langit ruangnya, seperti melayang rasanya. 

Di setiap keresahan,  perempuan rupawan ini banyak membuang waktunya di jendela beling ini. Tubuh semampai seksinya seakan malas menampak segala kotak dan pernik  berbungkus wewarnian yang memadati meja dan sofa. Kado-kado yang bergelimpangan itu adalah pemberian karyawan, mulai dari manajer-manajer bawahannya sampai para kroco-mumet, belum lagi dari rekan dan relasi. 

Dari sekian pepak kado itu, ada terselip seikat bunga merah berseling biru, tampak menyengat mata Inka. Dia seperti 'dejavu' , sebagai pernah di silamnya. Sekejap hatinya berdegup merambah mawar segar dan membaca secarik kartu di selimut lembar plastiknya. Betul kan? Inka mengambil duduk, kartu biru masih digenggaman terbaca nama V. Prasetyo. Serentak memori Inka terbang ke dua dekade silam.

Iya, lelaki itu, Prasetyo, yang tak pernah reda memburu cintanya. Lelaki yang tergila-gila dan tercinta-cinta padanya. Lelaki yang memuja dan menyembahnya bertahun, memohonnya untuk didapuk menjadi permaisuri belahan jiwa. Prasetyo, satu-satunya pria yang diingatnya dari sekian ratus pria yang hancur hatinya. Prasetyo, putera tunggal dari dinasti konglomerat  yang bukan kaleng-kaleng, ganteng, juga padat dengan gelar mentereng, digila-gila sejagat wanita. Bertekuk lutut dan merintih di depan penolakan cinta Inka, hingga terjerumus ke dalam pasukan pelantun 'Ku Menangiiis.." . Inka kembali menggulung ingatan, meskipun lelaki 'crazy rich' itu menggodanya militan dengan mengguyur bermacam benda mewah dari mulai 'Kalung Emas' seperti lagu Didi Kempot hingga bahkan 'ferrari', Inka menepis dan tetap batu.

Inka itu 'no man no cry', bergidik terhadap lelaki, terlebih lelaki yang 'mbelgedes'. Sejak silam kanaknya, Inka memiliki luka di otaknya hingga melubangi hatinya, berjenjang tahun kebalitaannya, dia seperti melihat adegan filem kekerasan lelaki ayahnya terhadap mamanya, menerus, dan terekam mencetak pembenaran bahwa lelaki itu kebencian. Sampai menginjak empat puluh ini, lara itu masih ada, namun tak lagi membara, karena dokter jiwanya yang bernama 'Mister Shrink' tak putus meremedi cacat kalbu Inka.

"Mmmhh.. kemana lelaki itu menghilang? Sudah duapuluh tahun berlalu, rupanya belum pula dia menyerah..?" Inka menyeringai. Ada separuh puas, ada separuh kasihan di mimiknya, mengingat sifat Prasetyo yang tak pernah menyerah menawarkannya barang-barang mewah, yang dipandangnya sebagai penyuapan cinta.  Sementara mawar masih erat di didekapnya tanpa disadari, terhanyut ke dalam aroma lembut bunga.  Apakah Prasetyo masih usaha menyuapnya di kesilaman? Inka menjadi tergoda ke jalan kodrat, bahwa diem-diem, dia menengok kenangan yang masih menyimpan wajah Prasetyo di ruang buram kalbunya.  Pria itu memang tak mengenal lelah, teguh dengan cintanya sendiri. Inka ragu untuk membuang atau memungut potongan kenangan dari hatinya.

Namun waktu panjang  melupakan, belum tentu pula memisah rasa. "Dimana kamu Prass?". Ada seberkas kenangan  yang mencari kekinian. Inka mendadak 'Kangen Dewa 19'.  Wajahnya berubah sendu. "Prass bukan ayah.. dia sama sekali tidak seperti ayah.." Bibir ranumnya berbisik seperti abege, matanya berlapis kaca yang mau melumer. Dia engga tampak seperti perempuan logam, wanita eksekutif. Panjang dihela nafas ke dada lalu jemari lentiknya memencet 'iphone', pesanan tiket terbang pesawat.

Pagi merekah  setelah terminal tiga, Inka sudah duduk manis di bisnis 'flier' yang super nyaman. Wajah ayunya masjgul, namun dia harus memastikan menemukan Prass, guna membereskan risalah hati. Terbang menuju kota besar lain tempat Prass lahir dan tumbuh  disana. Dia paham kerna mamanya pernah sesekali berkunjung dan 'glenikan' dengan ibunya Prass, meski itu sudah pula lampau dan termakan musim, meski hingga kini Inka berksikeras tak pernah sudi merelasikannya.

Rumah itu begitu gahar, banyak putih, merah dan biru. Berlantai lima dan pasti difasilitasi  lift seperti rumahnya cagur.Tampak senyap, hanya pepohon luas menjawab. Inka menekan bel pintu besarnya, yang tak lama seorang wanita tua berwajah elit menyeruak  menatap dengan mata mempesona. Berdesir kalbu Inka beradu pandang bagai mengingatkan mamanya yang telah pergi ke atas. "Tante..". Bisiknya lunglai.  Paras wanita yang disapa masih menerka panjang putri yang di hadapannya, dia hanya merangkul lembut bagai anak sendiri dan membawa tamunya duduk di sofa empuk.

"Akhirnya kamu datang juga..". Mata menaknya berkabut linang. Inka juga menangis mendekap mama Prass. Mereka bertemu air mata yang telah tersimpan purwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun