Sejak diletupkan 'kudeta' di Partai Demokrat pikiran-pikiran liar untuk menulis politik seperti jadi mendadak dangdut.  Spekulasi politik yang menyergap yang mengikutinya, menjadikan inspirasi menggoda bagi analisis terutama arus bawah atau amatiran. Dalam tiga hari berjalan ini, berita terpadatkan oleh 'hot spot' ini, yang perlahan membentuk di dalam otak saya bahwa, ternyata putra mahkota Cikeas, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), ada menyimpan pesona politik yang tidak biasa seperti dibandingkan politisi  'rising star' dari dinasti/privileger lainnya, seperti Sandy Uno, Gibran, Prananda bahkan Puan.Â
Dalam hal ini saya bertanya-tanya,  apakah jurus politik yang dipakai AHY sampai-sampai gesture sosok sekelas Moeldoko  sebagai 'inner ring' kekuasaan memerlukan dua kali 'counter press' atas isu kudeta yang ditimpakan,  padahal beliau sebagai satu-satunya  tokoh 'outer ring' Partai Demokrat dalam lima orang dalam daftar 'terduga'.  Â
Sayup-sayup saya teringat salah satu jurus Pendekar Kapak Naga Geni '212', Wiro Sableng yaitu jurus 'Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih'. Pukulan ini berupa hempasan angin dahsyat yang berhembus menyebar susul menyusul yang keluar dengan sekali pukul. Â Hasilnya terlihat dinding-dinding terbuka dan bisa terlihat mana kawan dan mana lawan, mana luar mana dalam, Â yang awalnya tampak sumir menjadi jelas.
Partai Demokrat merasakan munculnya kekhawatiran di faktor eksternalnya, tercermin dari sinyal cuitan Ketua majelis Tinggi Partai Demokrat, SBY, yang ditujukan kepada pemegang kekuasaan politik perihal tiga golongan manusia  "The Good, The Bad and The Ugly", yang sama dengan judul filem koboi jadul yang dibintangi  tiga aktor bangkot yaitu, Clint Eastwood sebagai 'The Good', Lee Van Cleef sebagai 'The Bad' dan Eli Wallach sebagai 'The Ugly'. Menjadikan 'driving force' dalam materi konpersensi pers ketua partainya di tanggal pertama Februari ini yang telah sama-sama kita ketahui.
Konsep strategi ini ditindaklanjuti dengan berkirim surat permohonan klarifikasi --konfirmasi kepada presiden perihal ' first inner circle' yang diduga berperan. Jawaban istana sudah pula di peroleh dari penjelasan mensesneg Pratikno  terkait surat Ketum PD itu, yang menjelaskan bahwa  itu adalah perihal dinamika internal partai. Dan itu sudah sangat cukup sebagai sebuah jawaban, non surat atau 'paperless'. Mungkin menghemat kertas. Reaksi politisi gaek demokrat yang kecewa dan marah tercermin dari cuitan-cuitan Rahland, Herman dan Syarief. Namun saya pikir, jawaban istana harusnya tidak perlu dikapitalisasi dengan emosi, karena surat atau bukan, itu sudah diketahui dan dijawab istana.
Secara logika, kiriman surat Demokrat ke presiden ini sudah dapat diterka atau diantisipasi bahwa akan mendapat jawaban yang mirip-mirip kayak gini. Jika mengharapkan jawaban istana sesuai keinginan yaitu jawaban hitam-putih, itu 'absurd'. Lebih baik diambil kelebihan positifnya dari jawaban mensesneg soal kosa kata internal. Tersirat bahwa kata internal itu tidak bisa dilepaskan dari gandengannya dengan kata eksternal. Seperti halnya positip-negatip, maju-mundur, baik-buruk. Jadi anggap saja bahwa dengan istana mengatakan ada masalah internal tersirat juga masalah eksternal yang mengikutinya bahwa ada suatu sebab-akibat atau kebalikannya. Mudah-mudahan bro. Â
Lalu sekarang apa yang mesti dilakukan Partai Demokrat? Saran saya mungkin yang terbaik adalah menunggu dan membiarkan hari berjalan dengan tenang. Paling tidak pesan-pesan yang ingin disampaikan sudah terbaca di meja nasional. Reduksi akan kegaduhan dari elit pengikut AHY sangat diperlukan untuk melihat lebih bening akar rumput, sukur-sukur rumput tetangga ada yang merembet masuk. Â Apakah nanti ada pembicaraan atau pertemuan, atau diperlukan strategi lain, ini bisa jadi salah satu awal 'quantum leap' yang mengangkat sinar seorang Agus Harimurti Yodhoyono menapak 2024.
Ada benang merah yang bisa ditimang. Menyusuri jalan sunyi politik AHY sejak melepas karir militer untuk masuk kedalam kancah pilkada DKI 2017 sebagai CaGub DKI, Â berlanjut di pemilu serentak 2019 dibawah bayang SBY sampai menerima tongkat estafet sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 15 Maret 2020 secara aklamasi. Â
Layaknya jalan curam yang penuh strategi dan resiko yang lebih dominan kepada pembentukan karakter internalnya, atau pendewasaan politik jalur cepat. Secara opini pribadi, sejauh ini terlepas plus-minusnya, kapasitas Agus mulai terlihat. Keberanian-resiko-strategi. Mencoba lepas dari bayang- bayang SBY, sebagai ayah sekaligus mentornya, atau sebaliknya dilepaskan dari bayang-bayang SBY, mulai terlihat sejak Agus menakhodai Partai Demokrat. Khususnya persitiwa 'kudeta' sekarang ini.Â
Harusnya semesta bangsa ikut memelihara tunas generasi politisi muda sebagai asset politik nasional, yang kelak menggantikan politisi renta, memberikan pilahan-pilahan  atmosfir politik yang sehat untuk mereka berkembang, jangan ada 'kudeta' diantara kita. Generasi pemangku atau politisi karatan mesti membagikan politik masa depan bukan politik se saat tanpa pelanggaran tapi enggak sehat. Politisi muda mesti diberi sedikit ruang komitmen regenerasi yang sehat, dengan segala kekurangan dan kelebihannya jangan lah 'Nip in the bud',  dan PD dan PSI nampaknya sudah memulainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H