Aku pernah mencoba menanyakan namanya. Sarah, kata pramukopi di kedai. Sebab beberapa kunjungan ke ruang beraroma itu, aku hanya bisa menatapnya sekilas. Seperti siluet. Lalu dia menghilang ke balik pintu dan tak pernah muncul kembali. Pintu itu selalu tertutup, ada di sisi tak berjarak dari meja peracik. Sepertinya tak pernah terbuka. Kupikir cuman Sarah yang menggunakan pintu itu.
"Kau yakin perempuan itu bernama Sarah?"
"Yang mana?"
"Itu kemarin kau katakan.."
"Oh.."
"Hei!"
"Maaf bro, aku bisi.."
Kafe malam sedang padat, membuat 'il barista espresso' tergopoh, mengabaikan keingintauanku, melewatiku sambil menyunggi nampan gelas-gelas melelehkan likuid hitam semerbak. Kubiarkan malam yang lebih menderu diperbedaan dalam dan luar kedai. Hidungku menghirup 'nyegrak' ekstrak kopi yang menguar berkawin dengan kepulan asap nikotin, membentuk cendawa dilangit- langit kafe. Alun musik, bisik gemerisik dan tawa pecah, memproklamirkan keseharian malam yang tidak lelah. Dan aku mereguk seduhan kopi yang enak, dengan otak bercabang, bagai lelaki tersesat didalam sebuah tungku raksasa.
"Bagaimana, kau juga yang berkata nama Sarah?"
"Bukan Om.."
"Iya.. kamu.."