Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Jam Kematian

20 November 2020   10:09 Diperbarui: 20 November 2020   10:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh prettysleepy1 dari Pixabay

Bis antarkota berjalan perlahan dan saya berada didalamnya diantara penuhnya penumpang. Ini memang hari terakhir liburan panjang. Sebenarnya saya berniat langsung pulang ke kota, namun menyela kabar mendadak yang menuliskan bahwa kamu sakit parah, sehingga tujuan saya berbelok separuh jalan. Saya akan menjengukmu. Begitu juga kebetulan terpesan didalam mimpi saya semalam, bahwa kamu memohon sangat saya disisi. Saya tak bisa mencegah hati, kerna kamu adalah mantan dengan kenangan yang paling parah. Apalagi keluargamu yang sudah demikian kental, pula mengabarkan harapan kehadiran saya, kerna kamu sakit di fase sekarat.

Lamunan saya beterbangan keluar jendela kaca bus bercampur dengan fatamorgana yang digambar oleh uap air yang bergerak. Udara humid yang terik serasa menembus lewat lapis kaca menyapa panggilan silam. Kalau benar Hesti, mantan saya itu, sekarat, tiada lagi bisa saya perbuat kecuali membiarkan buku kenangan kembali terbuka untuk melengkapi cerita luka.
"Berrrrrt!" perangkat genggam di saku saya bergetar, membuyarkan ingatan lalu.
"Halo.."
"Nak Dul.."
"Ya ibu"
"Sudah sampai dimana perjalanan?"
"Masih jauh, ibu"
"Kira kira jam berapa sampai?"
Saya mengendapkan pikiran saya sekejap, lalu mengira ngira jawaban sembari melirik arloji. "Mungkin sekitar tengah malam, ibu"
"Bisakah dipercepat nak. Ibu khawatir kamu tidak sempat melihat Hesti.."
"Ibu tenang, saya usaha segerakan"
"Begini, dokter memperkirakan bahwa Hesti tak kan bertahan hingga esok. Tolong ibu ya nak.." terdengar suara isak di seberang. Dan saya mendadak sulit berkata kerna leher yang menyekat.
"Maksud ibu..?"
"Dokter memperkirakan waktu Hesti hanya sampai satu jam setelah lewat tengah malam..".

Lalu suara perempuan disana terputus dan telepon dari ibunya Hesti saya tutup, sembari berharap bus menggelinding lebih cepat, untuk mengejar Hesti sebelum pergantian hari.

Di dalam resah saya coba menenangkan hati berusaha memejam mata untuk memepercepat waktu, sampai tak terasa bus sarat ini membelok masuk terminal kota Hesti. Hari malam telah memekat, lampu-lampu deretan warung berpendar. Ada sedikit lega saya melangkah turun, menggeliatkan pingggang yang kaku sembari menatap jam di tangan. 

Jam sebelas malam, satu jam menuju tengah malam batas pergantian hari. Membuatku tergopoh memanggil dan menerobos pintu taksi dengan hati berdegup bagai mengejar nyawa. Wajah menawan Hesti tergambar berkelindan menambah saya tak keruan.
"Cepat ya pak supir! Waktu saya hampir habis!"
"Siap pak!" responnya sambil gas pol.

Taksi melesat cepat menembus pekat, meski jalan telah lepas namun terasa saja lambat. Jarak tujuan yang cukup jauh membuat saya was was tak bisa memenuhi waktu. Satu jam sehabis tengah malam, itulah batasnya, begitu otak saya hanya bisa mengukur secara linear. Dan beruntung, tepat jam dua belas tengah malam, taksi memasuki gerbang perumahan Hesti, membuat saya sedikit bernapas lega. "Masih tersisa waktu" Saya bergumam. Namun saat kendaraan kami menyisir deretan rumah Hesti, hati mulai berdesir. Tampak beberapa orang berkerumun di halamannya.
"Tak mungkin..?" saya mendesah, sembari menuruni taksi yang sudah menepi.
"Nak Dul.." ibu Hesti menyeruak dari deret tetamu, menjelang dan mendekap tubuh saya yang masih belum percaya. "Hesti sudah pergi, baru saja nak Dul.."

Suara perempuan tua itu terdengar berbaur isak. Saya tak bisa berkata, mendiamkan saja detik detik berjalan. Sehabis tenang saya minta diantar untuk melihat Hesti yang terbujur di ranjang kamarnya. Lalu mereka meninggalkan kami bedua. Jam dinding kamar Hesti menunjuk tiga puluh menit lewat jam dua belas, tanda telah lewat waktu ke pergantian hari, yang seharusnya masih tersisa waktu yang dimiliki Hesti. Meski surga telah berkata lain.

"Kamu masih punya waktu Hesti.." saya membisikinya sambil memegang lembut tangannya. Serasa pandang, Hesti membuka kelopak mata indahnya.
"Aku menantimu sejak semalam mas Dul.." dia tersenyum, dan saya mengangguk sabar. "Nggak apa apa.." hibur saya.
"Dan ternyata.. kematian ini datang satu jam lebih cepat. Hesti belum siap mas Dul.."
"Ssshh.. kamu akan baik baik saja melewatinya, begitu pula semua orang.." Saya menghibur menenangkan. Dan tampak Hesti mulai menampakan kepasrahan di parasnya. Ketika saya terus melanjutkan  cerita tentang tibanya waktu untuk mengangkat semangatnya terangkat.
"Pada akhirnya , jika kebahagiaan yang datang dengan kesadaran, surga yang ada di depan telah ada sebelum kematian, seseorang akan mengalami kematian yang menggembirakan. Juga untuk kamu Hesti" begitu saya mengakhiri sementara Hesti telah kembali tertidur lelap dengan senyum dikulum.
Kemudian saya berdoa dan melepaskannya.

Sebelum meninggalkan ruang kamar Hesti saya melihat jarum jam dinding tepat menunjukkan satu jam setelah angka dua belas, sementara jam ditangan saya menunjukkan tepat jam dua belas. Kemudian saya putar jarum arloji menyamakan dengan waktu jam dinding, menambahkan satu jam yang adalah perbedaan waktu antara kota saya dan kota Hesti.

Saya berharap saya berhasil menyiasati perbedaan waktu untuk pelepasannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun