Gondo tak pernah mau kawin meski umurnya sudah memasuki empat puluh. Mamanya sebagai single moms mulai kuatir jangan jangan Gendo memiliki kelainan. Bukan tidak menyukai perempuan, Gendo sukak dan normal berperasaan kepada wanita seperti lelaki wajar lainnya.Â
Tapi, itu loh, Gondo kenapa sih enggak mau juga menikah, sementara moms sudah semakin usur dan perlu juga diketahui Gondo itu sang putera tunggal, yang kelak meneruskan keturunan menegakkan silsilah. Begitulah yang diresahkan moms Gondo sehari hari.
Gondo sendiri bukan hanya diam berpangku tangan dan kaki, anak lelaki matang ini menyadari keresahan sang bunda, karena selain sudah mapan dengan karirnya memang harusnya melangkah ke level yang lebih advance, yaitu berkeluarga.Â
Namun apa mau dikata, bukan karena Gondo itu sang pemilih calon isteri, seperti salah satu alasan yang dicurigai bundanya, melainkan Gondo belum menemukan perempuan yang sesuai dengan alam pencariannya.
"Sudahlah puteraku, segeralah petik seorang perempuan!" kata moms di suatu pagi nan cerah.
"Belum ada bunda, mohon maaf.." Gondo melirik halus moms sambil mengoles roti tawar sarapan pagi untuk mommy tercintanya.
"Banyak teman sekerja kamu itu yang cantik dan pandai dan tampak menaruh perhatian. Ambil saja satu sesuai hatimu anakku, aku akan gembira dan otomatis merestui, kok?" moms mendesak sambil mengunyah roti selai kacang.
"Mereka tidak ada yang sreg di alam saya, momy.." Gondo berucap berpura pura mengabaikan.
"Whats? Segitu banyak, tidak pula ada yang berkenan? Ceritakan pada bunda, apa yang kamu syaratkan ki sanak, sedemikian beratkah?" kembali sang ibu mengerenyitkan dahi menghentikan gerakan mengunyahnya.
"Perempuan di kantor memang menarik mama.. tapi jika sudah tidak di kantor, sepengenalan Gondo, mereka menjadi berbeda.."
"Maksudmu?
"Wangi mereka begitu berbeda moms, dikantor dan di luar kantor"
"Kamu aneh, puteraku" jawab moms mulai bergaris wajah ngambeknya sambil menggeleng.
"Sudahlah ibu. Tetaplah percaya, aku masih usaha menemui pujaan hati kelak.." Gondo kembali menyodorkan lembut roti selai nanas favorit sang mother, buat mengambil hati.
"Sakarepmulah le.. ingat ibu sudah memasuki masa kolot loh. Cepatlah berpasangan dan beranak pinak. Ibu kepingin banget menimang cucu.." sang ibu kembali ke fase baper dan mulai meluluhkan linangan air mata tuanya.
"Okeh, mama. Jangan menangis, Gondo akan lebih serius mencari perempuan dan membawanya segera kehadapan bunda sebagai mantu.." Penuh cinta, Gondo menghampiri dan mendekap ibundanya yang masih sesenggukkan.
"Cepatlah anakku, sebelum aku seda.." sang ibu begitu depress berucap pelan. Membuat Gondo merasa bersalah belum bisa memenuhi amanat bunda terkasih. Dan Gondo harus segera mencari pujaan hati sesuai alam pikiran dan hatinya dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya.
Dia pun pamit sambil mengecup kening mamanya, untuk pergi bekerja di pagi yang sedikit menjadi mendung, semendung hati Gondo.Â
Sementara mamanya hanya memandangi sendu langkah kepergian sosok puteranya Gondo meninggalkan pintu besar rumah mereka dan mendengar sayup kenalpot racing moge Gondo menderu, untuk melesat terbang.
Tinggallah sang moms, memandangi kursi kosong dihadapannya, seperti setiap pagi yang dilakukannya dan yang memang hanya itu yang bisa diperbuatnya. Menatap bangku kosong di setiap pagi yang panjang di kesendirian.
Lalu hari berganti hari dan lanjut berganti bulan, Gondo tak pula kunjung memberikan tanda jelas untuk berpasangan menghadirkan calon mantu kepada moms, meletakkan pagi ke pagi yang serupa, meratapi kursi kosong  dilepas fajar seorang  diri.Â
Moms nampak berpasrah hati untuk tidak terlalu memaksakan kehendak jika memang sudah kehendak yang diatas yang mungkin terbaik buat putranya.Â
Sementara Gondo sang putera masih tetap berjanji dan berjanji di setiap pembicaraan sarapan pagi yang  sudah menjadi seperti monolog, yang akhirnya membuat sang bunda tidak lagi kecewa berat, karena Gondo, bagaimanapun sudah berupaya memenuhi keinginan moms.Â
Mungkin mesti bersabar, meski hanya sedikit waktu mesti berjalan dan waktu memang tak memiliki kaki sehingga tak pernah tehitung jauhnya.
Sampai di satu pagi yang cerah, sepeninggal Gondo ke kantor, terdengar dentang lonceng rumah menandakan seseorang hadir didepan pintu. Moms melangkahkan kaki tuanya menyambut pintu dengan hati penuh tanya, bahwa sudah terlalu langka seseorang bertamu, apalagi semenjak kepergian sang suami yang mantan pejabat sebuah bank yang cepat dilupakan kolega.
"Pagi tante!" seraut wajah perempuan muda menyeruak ketika moms membuka pintu.
"Siapakah kisanak?" moms memandang penuh tanya bercampur curiga.
"Aku temannya Gondo tante. Betulkan ini rumahnya? Gondo suruh aku mampir kemari. Tante siapa? Mamahnya pasti. Boleh masuk tante?" Perempuan asing memberondong kata tanya sekaligus.
"Yah yah.." moms menjadi gugup, namun moms sempat terhenyak menatap seronok dandanan  nonik dihadapannya, bermake up tebal dengan harum parfum menyengat. Meski dirasanya cantik, tapi enggak gini gini juga kali dandannya? Begitu moms bergumam di hati. Meski hatinya enggan, namun dilepaskannya pula perempuan ini melenggok masuk ke ruang tamu dan mengambil duduk tanpa komando.
"Maaf, anak ini teman kantor..?" moms bertanya sedikit keras.
"Ssst.. aku sudah tahu segala ceritanya tante.." kata sang gadis sambil menempelkan telunjuk jari di bibir merah darahnya. "Aku sudah lama kenal Gondo tante, dia mengajak aku menikah. Tapi.. lama tak ku lihat sosoknya selama dua bulan ini, sampai semalam dia tiba di kafe malam memberikan alamat ini" perempuan itu melanjutkan ucapannya.
Sementara moms menatapnya dingin dan beku, membalas tatap perempuan muda itu lama, lalu meraih tangan perempuan asing itu dan memeluknya. Moms merasakan hidungnya terasuki wewangi yang selalu berkeliling diseluruh ruang rumah. Wangi yang sama yang dihirupnya dari tubuh wanita yang didekapnya. Segera moms menggamit sang nonik yang masih terheran, dan mereka berdua berjalan melangkah ke ruang sarapan pagi.
"Duduklah nona, biar ibu menyiapkan sarapan buat kamu" moms berucap lembut. Nona muda itu masih terperangah dan hanya bisa mengangguk mengiakan, sementara sang bunda menyiapkan segala rupa sarapan di meja. "Gondonya kemana tante? Kerja?" Seakan seribu tanya bermekaran di kepala nonik cantik ini. Moms menolehkan wajahnya dengan senyum seringai.
" Sebenarnya..dia sudah pergi ke alam lain dan takkan pernah kembali. Tapi... kamu boleh menempati kursi kosong sarapannya sayang, sekehendak kamu mau...", moms setengah berbisik kedekat telinga nonik cantik itu. Dan kemudian mereka pun nampak terlibat dalam perbincangan sehari hari sembari menyantap sarapan pagi seperti biasa layaknya telah saling lama mengenal.
Sementara semenjak itu, diseluruh ruang pagi rumah selalu dipenuhi wewangi,  wangi yang meruah yang berguna untuk menghapus kehidupan yang pahit, wangi yang dibawa perempuan itu untuk memerangi duka  akan malam malam yang terasa lebih panjang dari pagi dan wangi untuk mengobati di setiap pagi bundanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H