Hari mendung tak pula hujan, awan pun telah bergulung gulung menebal  berwarna kelabu tua. Awan awan jenuh yang belum mendapat ijin untuk menumpahkan air, menggantung kecewa hanya menanti diantara sinar. Matahari sore yang masih kuat menikamkan cahayanya tak peduli dengan kelamnya mendung bahkan kengerian atmosfir.Â
Sinar sinarnya yang kejam menembus awan awan hitam yang semula berpikir dialah penguasa hujan. Â Tapi apalah arti mega, ketika cahaya adalah panglima yang menembus segala tirai langit, membuat mega tak lagi berkehendak menangis menderai curah hujannya.
Ompas, pemuda yang banyak makan asam dan asin di desa, masih duduk menatap langit yang kelam, semenjak beberapa jam lalu dia hanya merenungi dan melongo tentang  bekas luka dalamnya.Â
Sepanjang kepergian kekasihnya yang tak hendak dimengerti, semenjak  perempuan Yana, sang pujaan hati, bersikeras melanglang ke metropolitan untuk mengejar mimpi.Â
Lalu menghilang tanpa berita bahkan alamat. Meski beratus kali Ompas mengirim pesan namun hilang saja bersama udara tanpa berjawab. Dan kini Ompas telah menyusul masuk ke kota urban yang riuh ini, untuk menelusuri jejak Yana dan bermaksud membawanya pulang ke kampung. Namun ibukota begitu gahar, selain luas tak berhingga, membuatnya sebentar sebentar terdampar di pojok pojok kumuh kota modern.
Ada raut keputusasaan di garis wajahnya, ketika melepas pandang kubah langit yang berawan, hawa dingin pun merayapi keseluruhan permukaan kulit tubuhnya.Â
Ompas hanya menekuri doa berharap kepada langit yang masih menurunkan cahayanya, agar  menemukan mukjizat  utntuk dapat berjumpa Yana. Namun sinar sinar itu hanya diam, malah terlihat semakin miring, membentuk seperti cahaya yang menekan untuk mencipta beban kepada yang melihat dan mengenanya.Â
Ompas seperti memandang tanda tanya, kepada garis garis cahaya itu. Â Cahaya yang dikirim dari langit dengan kemiringan ini seperti mengirimkan luka dalam, lewat udara, yang ketika diterima oleh tanah membuat ruang terang yang berkelebatan dengan ruang gelapnya.Â
Itu membuat Ompas merasa rendah, tidak bahagia dan seolah olah dikunjungi luka langit yang tidak berterus terang dengan cahayanya. Sinar mentari sore ini mengirimkan sinarnya dengan miring, seperti tak hendak berterus terang, akan suatu tanda atau pesan yang kentara tentang sesuatu yang menyedihkan.
Ompas menaikkan masker wajahnya, meskipun dia hanya seorang diri menghadap lansekap terhampar di kejauhan sejauh mata memandang. Â
Warna tanah yang sebagian gelap kerna kemiringan sinar surya sore, membuatnya begitu ciut dan kecil. Terlalu besar ruang buat mencari kekasihnya Yana, ditengah kota metro yang terpayungi udara pagebluk.Â